Tak Perlu 'Cawe-cawe' di Pilpres 2024, Demokrat Minta Presiden Fokus Kerja Menuntaskan Masalah Kemiskinan
Partai Demokrat tegas menyatakan tidak perlu presiden atau menteri di kabinet titip-menitip nama capres-cawapres untuk Pilpres 2024. Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/5).
"Kalau mengerti demokrasi, ini bisa dianggap intervensi bahkan intimidasi dalam bentuk halus. Karena bukan ranahnya pemerintah memikirkan siapa capres dan cawapres selanjutnya," kata Herzaky.
Dia menyebutkan tugas pemerintah itu menjalankan kebijakan dan program yang bermanfaat untuk rakyat dengan waktu tinggal 1,5 tahun dan masih banyak janji kampanye yang belum dilaksanakan.
"Masih banyak rakyat yang tenggelam dalam kemiskinan, karena sulit mendapatkan pekerjaan dan tingginya biaya hidup akibat harga sembako terus melonjak. Pemerintah fokus saja dengan kerja-kerja utamanya mengurus rakyat yang sedang kesusahan," lanjutnya.
Politikus asal Pontianak, Kalimantan Barat itu menyebutkan jika berharap ada keberlanjutan pembangunan, silahkan pemerintah merancang cetak biru pembangunan.
"Baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang seperti di era Pak SBY. Menyiapkan fondasi pembangunan buat era selanjutnya. Bukan malah sibuk dorong koalisi A atau koalisi B, dorong capres A atau B, cawapres C atau D," tegasnya.
Selanjutnya kata Herzaky, pemerintah harus memastikan Pileg dan Pilpres 2024 berjalan dengan demokratis, jujur, adil, tanpa intervensi, tanpa intimidasi, dan tanpa kecurangan.
"Bukan malah sejak awal mau geser-geser pemilu, perpanjang masa jabatan, dan sekarang sibuk mau atur-atur siapa calon pemimpin selanjutnya," tuturnya.
Jika demikian, menurutnya, wajar demokrasi Indonesia makin menurun kualitasnya di era Presiden Jokowi.
"Karena pemimpin-pemimpinnya di kabinet tidak bisa membedakan, mana praktik-praktik demokrasi dan mana praktik-praktik monarki atau kerajaan," jelasnya. Dia menyebutkan jika sistem pemerintahan Indonesia berbentuk kerajaan, wajar jika rezim sebelumnya menyiapkan pengganti.
"Namun, negara kita ini negara demokrasi. Tahu diri dan tahu malulah. Jangan menganggap kalau pemerintahan ini berakhir, Indonesia tidak akan bisa maju. Seakan-akan ini era paling hebat. Padahal, jauh sekali dibandingkan era Pak SBY," kata Herzaky.
Dia bahkan membandingkan penurunan angka kemiskinan rezim saat ini dengan pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono.
"Di era Pak SBY, kemiskinan turun drastis dari 36 juta ke 27 jutaan. Sekarang, Sudah delapan tahunan, tetapi masih seputaran 26-28 juta. Mandek.
Turunnya sedikit sekali, bahkan sebelum pandemi sudah mandek juga," jelasnya. Tak hanya itu, Herzaky juga menyebutkan pendapatan per kapita di era Pak SBY naik hampir tiga kali lipat.
Dia menyebutkan selama delapan tahun pertama pemerintahan SBY, PDB per kapita Indonesia naik sebesar US$ 2.418,81 atau 193,6 persen.
"Sedangkan, selama delapan tahun pemerintahan Jokowi, PDB per kapita hanya naik sebesar USD 1.307,28 atau 37,6 persen," tuturnya.
Dia menyebutkan saran dari partai berlogo bintang mercy itu kepada pemerintah, jika tidak mampu meninggalkan warisan pembangunan ekonomi yang bisa dibanggakan dan dikenang rakyat, setidaknya tinggalkanlah warisan demokrasi yang baik.
"Ikutilah jejak kenegarawanan Bapak SBY, Ibu Mega, dan Pak Habibie yang berhasil mengawal pemilu demokratis di eranya masing-masing," pungkas Herzaky.(mcr8/jpnn)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: