DPR: Tembakau Disamakan Narkoba di Omnibus Law Kesehatan Berlebihan dan Menyesatkan
Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan penolakan atas penyejajaran tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang disusun dengan metode omnibus law. Menurut mereka, penyejajaran ini terlalu berlebihan, menyesatkan, dan menimbulkan ketidakadilan.
Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Vita Ervina, menyebutkan tembakau merupakan tanaman legal yang peredaran dan produksinya sah secara hukum. Begitu pula dengan nikotin, zat adiktif yang ada di dalamnya.
Dia menegaskan bahwa nikotin sama seperti kafein yang terdapat dalam kopi, teh, dan minuman energi. Oleh karena itu, tidak seharusnya tembakau dan hasil olahannya diletakkan atau didefinisikan sejajar dalam pasal yang sama dengan narkotika dan psikotropika.
Baca Juga: DPR Minta Ketentuan Penyamarataan Tembakau dan Narkoba dalam RUU Kesehatan Dihapus
“Zat adiktif pada rokok tidak sebanding dengan zat adiktif yang terdapat pada narkotika seperti morfin, heroin, kokain dan ganja. Sangat berbahaya jika disamakan dengan narkotika,” ujarnya.
Penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di Omnibus Law Kesehatan terdapat pada pasal 154. Pasal ini akan mengatur terkait produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif yakni tembakau, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Menurut Vita, pasal yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika cenderung diskriminatif, tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bahkan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT).
Baca Juga: GRANAT: Adiksi Narkotika Tidak Sama dengan Tembakau
Pelolosan pasal ini akan sama dengan memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja. Padahal, pertanian tembakau merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian dari bawah.
“Saya meminta pasal tembakau untuk dihilangkan, karena sudah ada aturannya. Aturan yang ada saja sudah ketat, tinggal ditegakkan saja PP yang sudah ada,” tegasnya.
Di kesempatan berbeda, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muslich Zainal Abidin, juga menyuarakan pendapat serupa. Menurutnya, perbedaan antara rokok dan kedua zat ini bahkan sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi lewat tiga putusan, yakni nomor 6/PUU-VII/2009, 34/PUU-VIII/2010, dan 71/PUU-XI/2013.
“Menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika itu sangat tidak tepat dan sebuah penyesatan karena adiksi yang terdapat pada tembakau tidak sama dengan narkotika dan psikotropika,” katanya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar M. Yahya Zaini bahkan mengaku akan berupaya mengeluarkan pasal terkait tembakau ini dari RUU Kesehatan atau setidaknya membatalkan penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika.
”Industri tembakau banyak membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, menilai, penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika akan mengeliminasi industri hasil tembakau sekaligus merenggut nafkah hidup para pekerjanya.
“Ketentuan tersebut harus dihapus, karena tidak memenuhi rasa keadilan. Tembakau ini merupakan produk yang legal. Saya sebagai wakil rakyat yang notabene di wilayah saya banyak industri dan petani tembakau, saya punya kewajiban untuk menyampaikan kepada negara dan pemerintah agar ketentuan tersebut dihapus,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Yohanna Valerie Immanuella
Tag Terkait: