Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Yakin Hadirkan Solusi Terbaik, DPR: Hapus Pasal Zat Adiktif di RUU Kesehatan

        Yakin Hadirkan Solusi Terbaik, DPR: Hapus Pasal Zat Adiktif di RUU Kesehatan Kredit Foto: Andi Hidayat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Desakan agar dihapusnya pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus bermunculan. Kali ini Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengusulkan adanya aturan terpisah untuk perihal zat adiktif. Hal ini diyakini dapat menjadi solusi perdebatan bagi pasal tersebut yang ramai dibicarakan oleh masyarakat. 

        Menurutnya, industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif dalam aspek penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

        Baca Juga: Kasus KDRT, Bukhori Yusuf Tanda Tangani Pengunduran Diri sebagai Anggota DPR PKS

        Ia juga mengatakan bahwa RUU tersebut masih dalam tahap pembahasan. “RUU (Kesehatan) ini masih dibahas. Sementara persoalan pasal 154, pasal 156 yang isinya tentang ketentuan lebih lanjut mengenai standarisasi kemasan (produk tembakau) dan peringatan kesehatan belum masuk agenda pembahasan," ujarnya saat dikonfirmasi.

        Yahya mengatakan RUU ini belum dapat diajukan untuk dibawa ke rapat Paripurna. Pasalnya belum selesai pembahasan di tingkat Komisi. Menurut dia, DPR khususnya Komisi IX ingin memastikan RUU ini jika disahkan menjadi UU minim polemik. Dengan demikian perlu proses pembahasan yang lebih matang. "Kita usahakan demikian," tegasnya. 

        “Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

        Perlu diketahui bersama, tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

        Baca Juga: Jokowi Dinilai Ikut Campuri Urusan Kontestasi Politik, Pengamat Khawatir Oligarki Orde Baru Bisa Terulang

        Menanggapi hal tersebut, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengartikan kekuatan hukum industri tembakau dan aktivitas turunannya bersifat kuat dan mengikat. Artinya produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tidak bisa di ilegalkan karena didukung dengan izin usaha resmi dan ditambah adanya kontribusi resmi terhadap negara. Kontribusi ini mencakup penerimaan negara hingga serapan tenaga kerja. 

        Oleh karena itu, Benny menilai tidak ada urgensi untuk memasukkan tembakau dalam satu kategori bersama narkotika dan psikotropika. Apalagi mengingat beban Industri Hasil Tembakau nasional dan industri turunannya yang sudah cukup berat untuk dapat merealisasikan kebijakan Pemerintah yang selama ini cenderung menekan.

        “Lahirnya RUU Kesehatan yang ikut mengatur ketat produksi dan penjualan rokok akan membuat IHT semakin tertekan dan justru berpotensi menurunkan kontribusi dan dampak positif yang diberikan dari industri ini,” ungkapnya.

        Baca Juga: Catatkan Kinerja Luar Biasa, PHE Diapresiasi Anggota Komisi VII DPR

        Pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan menuai polemik dari berbagai pihak. Dalam pasal zat adiktif tersebut, selain pasal 154 ada pula pasal 156 yang mengatur persoalan standarisasi kemasan produk tembakau, termasuk aturan kemasan, jumlah batangan, dan lainnya, serta peringatan kesehatan

        Menurut Benny, jika bicara tentang kemasan produk tembakau, pasal tersebut juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Ini membuktikan deretan pasal tembakau dalam RUU Kesehatan akan menjadi tumpang tindih dengan regulasi lain bahkan berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan kementerian lain.

        Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri serta 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.

        Baca Juga: Anies Diminta Jangan Suka Sebar Fitnah Seolah-olah Teraniaya oleh Jokowi

        “Padahal IHT adalah industri yang legal di tanah air, sehingga dalam menyusun kebijakan yang ada penting juga melihat IHT dari seluruh aspek mulai dari ekonomi hingga sosial serta lebih transparan untuk mendengarkan aspirasi dari pelaku industri dan ekosistem tembakau yang terlibat,” jelas Benny.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: