Indonesia Mulai Kurangi Penggunaan Dolar, Ekonom: Belum Ada Dampak Langsung pada Pasar Keuangan
Sebagai mata uang utama dalam perekonomian global dolar Amerika Serikat (AS) telah lama menjadi pilihan utama dalam transaksi bilateral maupun multilateral antarnegara.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara mulai menyadari risiko ketergantungan perekonomian mereka terhadap dolar AS. Dengan demikian, beberapa negara sudah berkomitmen untuk menggunakan alternatif mata uang lain. Kebijakan ini disebut dengan dedolarisasi.
Ekonom senior dan Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menjelaskan bahwa dolar AS meang telah lama menjadi mata uang dominan dalam transaksi internasional. Hal ini yang kemudian membuat negara-negara mulai mengantisipasi ketergantungan perekonomian mereka terhadap dolar AS.
Baca Juga: Indonesia Gencar Dedolarisasi, Bagaimana Nasib Eksportir dan Importir?
“Dolar ini kan mata uang global yang paling banyak dipergunakan di dalam setiap transaksi, selain mata uang global lainnya seperti euro atau yen. Dolar itu dipergunakan sekitar 58% di dalam transaksi global. Negara-negara juga menyimpan kekayaan cadangan devisanya menggunakan dolar,” kata Piter, dikutip dari kanal Youtube IDX CHANNEL pada Rabu (24/5/2023).
Ia lalu mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, kebijakan dedolarisasi tidak berdampak langsung terhadap kestabilan fundamental keuangan negara.
“Fundamental tidak berkaitan langsung dengan dolar, ini hanya masalah terkait dengan volatility atau kerentanan dari mata uang domestiknya. Misalnya Indonesia, kita tahu Indonesia ini gejolak mata uangnya tinggi, dengan sangat cepat berubah naik-turunnya terhadap dolar. Itu disebabkan oleh ketergantungan terhadap dolarnya. Jadi ketika dolarnya dibutuhkan dalam jumlah banyak, ya harga dolar naik, rupiahnya turun. Ketergantungan terhadap dolar ini dikurangi dengan cara mengurangi kebutuhan dan penggunaan terhadap dolar sehingga mata uang rupiahnya itu lebih stabil,” jelasnya.
Sementara itu, ia melihat bahwa kebijakan dedolarisasi hanya berlaku pada konteks perdagangan ekspor dan impor sehingga tidak berimplikasi langsung pada pasar keuangan Indonesia.
“Karena ini akan lebih dipergunakan di dalam konteks perdagangan ekspor-impor, saya belum melihat dampaknya pada pasar keuangan secara langsung dari kesepakatan itu. Tetapi dampak tidak langsungnya adalah dengan adanya kesepakatan itu, diharapkan ketergantungan terhadap dolar menjadi rendah sehingga nilai tukar terhadap rupiah menjadi lebih stabil. Ini diharapkan dapat menjadi iklim yang kondusif terhadap pasar keuangan,” papar Piter.
Namun, secara tidak langsung, Piter melihat bahwa kestabilan nilai rupiah imbas dari kebijakan dedolarisasi akan meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Saya lihat dampak positifnya pada pasar keuangan adalah ketika kesepakatan dedolarisasi itu bisa benar-benar terwujudkan dalam bentuk nilai tukar rupiah yang lebih stabil,” ujarnya.
“Salah satu faktor yang dipertimbangkan di dalam keputusan investasi terutama investasi asing itu adalah pergerakan nilai tukar. Kalau nilai tukar kita kecenderungannya melemah, itu berarti risiko bagi modal asing untuk masuk, mereka akan lebih bahagia kalau mata uang kita stabil sehingga bisa memperkirakan return dari investasi yang mereka lakukan,” sambungnya.
Dengan demikian, ia sangat mendukung apabila pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan lebih banyak negara agar mengurangi ketergantungan rupiah terhadap dolar AS.
“Saya kira saya sangat mendukung apabila Bank Indonesia dan pemerintah terus memperluas kerja sama kesepakatan dengan negara-negara lain sehingga dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap dolar,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: