Rentan Kena Serangan Peretas, Indonesia Kekurangan SDM di Bidang Keamanan Siber?
Nama Bjorka sempat menghebohkan publik Indonesia pada tahun 2022 lalu. Pasalnya, ia mengklaim telah berhasil meretas 26 juta riwayat pencarian pelanggan Indihome, 1,3 miliar data registrasi SIM Card, dan juga 105 juta data KPU.
Selain itu, melalui grup Telegram miliknya, ia menyebarkan data pribadi sejumlah pejabat publik, seperti mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. Data yang bocor tersebut mencakup NIK, nomor kartu keluarga, alamat, nomor telepon, nama anggota keluarga, hingga ID Vaksin.
Pada awal Mei lalu, PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk menjadi korban serangan LockBit 3.0 yang menyebabkan gangguan layanan perbankan ATM maupun mobile banking selama hampir lima hari. Dilansir dari akun Twitter @darktracer_int, LockBit mengklaim berhasil meretas 15 juta data nasabah dan pegawai serta 1,5 terabyte internal data.
Baca Juga: BSI Kena Serangan Ransomware, Keamanan Data Nasabah Seolah Tak Jadi Prioritas?
Kepala Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan bahwa masalah fundamental dari dari kasus tersebut adalah karena kurangnya sumber daya manusia (SDM), terutama dalam bidang keamanan siber. Tidak hanya di Indonesia, ia menyebut bahwa masalah SDM merupakan krisis yang dialami oleh semua negara.
“Kalau bicara soal SDM, kita enggak berbeda dengan negara-negara lain. Masalah SDM itu adalah krisis global. SDM di bidang keamanan siber adalah sesuatu yang bisa dikatakan dialami oleh semua negara di dunia. Bayangkan Amerika saja sudah kesulitan, lantas kita gimana?” tanya Ardi, dikutip dari kanal Youtube Bisniscom pada Senin (29/5/2023).
Ia mengklaim bahwa ahli informatika saat ini terbatas dalam hal pengalaman, kemampuan analitis, dan kemampuan antisipatif, sehingga sering mengalami kebobolan serangan peretas.
“Orang yang mendalami dan punya komitmen di bidang ini sangat terbatas, apalagi yang punya pengalaman lima tahun secara operasional dan praktis. Kebanyakan yang ada sekarang hanyalah tukang, kita enggak tahu kualitasnya bagus apa enggak. Yang punya kemampuan analitis, kemampuan antisipatif, melihat persoalan dari sudut pandang helikopter, itu terbatas,” jelasnya.
Tak hanya dari sisi ahli informatika, ia menyebut masyarakat saat ini juga masih minim soal edukasi siber. Ia mengatakan bahwa masyarakat hanya memperhatikan manfaat dari teknologi informasi, tetapi tidak melihat risiko di baliknya.
“Kita harus mulai melihat masalahnya di mana, yang jelas itu di sisi manusia. Di sisi manusia perlu adanya semacam pendidikan, bagaimana kita menyadari apa yang sebenarnya kita lakukan itu berisiko, tapi kita juga harus diajarkan risikonya di mana. Tapi jujur, selama ini kalau kita bicara soal digitalisasi, yang dibicarakan kebanyakan manfaatnya, ada enggak yang pernah ngomongin risiko pada masyarakat? Tidak ada,” ungkapnya.
Dengan demikian, ia menyatakan bahwa edukasi dan budaya digital sudah harus ditanamkan dari sekarang agar tidak tertinggal dari perkembangan teknologi informasi yang masif.
“Kita harus ubah cara pandang kita, kita harus ubah juga budaya digital kita. Ini harus dimulai gerakan-gerakan ini, walaupun terlambat tetapi harus dilakukan. Teknologi itu berkembang pesat, tetapi budaya itu harus dibangun dari sekarang,” papar Ardi.
“Kita tidak tahu kapan mengalami krisis-krisis berikutnya akan muncul. Karena serangan siber itu bukan kita bilang besok atau sekarang, tapi tiba-tiba akan menyerang kita,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti