Bandingkan dengan Restorasi Meiji, Yusron Ihza Mahendra: Reformasi 1998 Tak Punya Tujuan yang Jelas
Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat setelah 25 tahun peristiwa reformasi terjadi. Pada dasarnya, Gerakan reformasi dimulai ketika masyarakat mulai kecewa terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang dianggap korup dan otoriter.
Selain itu, krisis ekonomi dan keinginan rakyat menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi juga menjadi faktor utama kejatuhan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Ekonom dan mantan Dubes Indonesia untuk Jepang dan Federasi Mikronesia, Yusron Ihza Mahendra, mengatakan bahwa peristiwa reformasi 1998 di Indonesia dapat dikomparasikan dengan Restorasi Meiji di Jepang pada 1868-1889.
Baca Juga: 25 Tahun Pasca-Reformasi, Indonesia Masih Punya Masalah di Dua Bidang Ini
“Sebenarnya kalau kita melihat Restorasi Meiji, terutama sekali dalam konteks perbandingan atau dalam kaitan dengan reformasi kita, maka tentu itu merupakan peristiwa yang dua-duanya menarik. Hanya saja, saya melihat bahwa ada perbedaan yang fundamental antara reformasi yang kita lakukan bermula pada tahun 1998 itu,” kata Yusron, dikutip dari kanal Youtube PinterPolitik TV pada Selasa (27/6/2023).
Ia menjelaskan, Restorasi Meiji terjadi ketika pemerintah yang dikuasai oleh diktator militer menyerahkan tampuk kekuasaan kembali kepada kaisar.
“Kalau kita bicara tentang Restorasi Meiji, intinya itu adalah pemulihan kembali kekuasaan kaisar. Jadi Jepang dalam masa yang lama itu diperintah oleh diktator militer, yaitu pemerintahan oleh Shogun. Kita mengenal setidaknya dua nama bahwa Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Itu, mereka adalah tentara yang memerintah negeri itu. Tetapi kemudian secara sukarela, Shogun itu menyerahkan kekuasaan itu kepada kaisarnya, sehingga menjadi kepala pemerintahan pada masa itu,” jelasnya.
Namun, berbeda dengan peristiwa reformasi di Indonesia pada 1998, Restorasi Meiji berjalan dengan damai tanpa ada kerusuhan. Selain itu, ia mengatakan pasca-Restorasi Meiji, Pemerintah Jepang memiliki tujuan yang jelas mengenai target apa yang akan diwujudkan.
“Kita melihat bahwa di dalam Restorasi Meiji, itu peristiwanya berjalan dengan damai, tenang, tidak ada kerusuhan, tidak ada kegaduhan dan itu pun juga bersifat amat terencana. Jadi kaisar kembali pada kekuasaannya, kita mengenalnya sebagai Kaisar Meiji. Yang amat penting di sini adalah bahwa dalam Restorasi Meiji itu target mereka jelas, yaitu Jepang ingin bangsa mereka setara dengan Barat. Lalu apa yang dilakukan, tentu kalau target yang telah ditetapkan kita menyiapkan apa langkah-langkah yang akan ditempuh,” ungkapnya.
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut terwujud dalam empat bidang. Pada bidang politik, Jepang bertransformasi menjadi negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Di bidang pendidikan, pemerintah mensponsori anak-anak muda untuk belajar ke luar negeri.
“Jepang memiliki setidaknya tiga atau empat target. Pertama, adalah modernisasi politik. Kaisar pada akhirnya membentuk sistem politik yang modern untuk Jepang, di mana kaisar pada akhirnya membentuk sistem pemerintahan yang parlementer. Kemudian setelah modernisasi politik, Jepang melakukan modernisasi dalam dunia pendidikan. Jadi jelas pada saat itu Jepang mulai menyekolahkan masyarakatnya itu untuk sekolah ke Barat, tentu saja untuk mempelajari teknologi, melahirkan pemikiran-pemikiran dan seterusnya,” bebernya.
Sementara itu, di bidang ekonomi dan pertahanan, Jepang ingin memperkuat kekuatan militer, sehingga akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Selanjutnya adalah modernisasi ekonomi dan juga modernisasi pertahanan. Langkah yang ditempuh Jepang itu adalah mereka atau menciptakan sistem ekonomi yang dalam bahasa saya dapat dikatakan Sistem Ekonomi Pertahanan. Slogan mereka pada saat itu disebut Fukoku Kyohei sebagai yang artinya adalah militer kuat negara maju,” katanya.
Dengan demikian, Yusron mengklaim tujuan-tujuan ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia pasca-Reformasi 1998. Ia mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan 25 tahun silam hanya dilandaskan pada kebencian terhadap rezim Orde Baru. Alhasil, tidak ada tujuan kolektif yang ingin dicapai setelah gerakan reformasi tersebut berhasil dilaksanakan.
“Tapi kalau kita lihat informasi kita, semoga saya tidak salah baca, saya tidak melihat secara jelas apa sebenarnya target atau tujuan yang ingin dicapai dengan reformasi tersebut. Katakanlah mencapai tujuan, jangankan untuk sebuah negara, untuk sebuah perusahaan saja, kalau memang mau maju, harus ditetapkan dulu apa target yang ingin dicapai. Sudah jelas apa targetnya, maka apa saja agenda kerja yang akan dilakukan. Reformasi kita itu lebih banyak didasari oleh rasa bosan, tidak suka, dan bahkan mungkin kebencian terhadap Presiden Soeharto,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti