Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Reformasi Belum Maksimal, PIM: Civil Society Harus Digulirkan

Reformasi Belum Maksimal, PIM: Civil Society Harus Digulirkan Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jawa Barat menilai reformasi sampai saat ini belum maksimal. Pasalnya, beberapa agenda reformasi yang telah digaungkan tidak berjalan dengan semestinya.

Ketua PIM Jabar, Eko Arief Nugroho menjelaskan peristiwa mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 merupakan buah dari jalinan panjang interaksi para aktivis sosial lintas sektor serta lintas generasi, yang pelaku utamanya diperankan oleh para mahasiswa.

"Hingga saat ini, aspirasi perjuangan mahasiswa '98 masih relevan untuk digaungkan dan diingatkan kepada penguasa negeri," kata Eko kepada wartawan usai mengikuti kegiatan Dialog Lintas Generasi: Meluruskan Jalan Reformasi 1998 di Kota Bandung, Sabtu (27/5/2023).

Baca Juga: Ganjar Tegaskan Pentingnya Jaga Integritas-Optimalkan Reformasi Birokrasi

Eko mengungkapkan sejumlah tuntutan reformasi hingga kini gagal direalisasikan oleh pemerintahan pascatahun 1998. Salah satunya, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Masyarakat memiliki harapan tinggi terhadap adanya pemerintah yang bersih dari KKN dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002.

Namun, sejarah mencatat pada 17 Oktober 2019, Pemerintahan Joko Widodo mengubur harapan tersebut dengan 'membonsai' subsiansi kelembagaan KPK melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain itu, terkait proses yudisial dalam peristiwa penghilangan secara paksa para aktivis, alih-alih mengupayakan digelarnya proses peradilan atas peristiwa tersebut, rezim Joko Widodo justru menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Belum lagi soal kebijakan penguasaan tanah yang berkeadilan melalui reforma agraria. Menurut data KPA, 68% lahan daratan Indonesia dikuasai oleh 1% badan usaha pemodal besar, sedangkan 99% penduduk lainnya memperebutkan penguasaan atas 32% sisa lahan yang ada.

Contoh lain, mandat konstitusi yang mengamanatkan agar alokasi anggaran pendidikan nasional (dan juga di daerah) sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat, termasuk kesejahteraan sebagian besar para pendidik yang hingga kini masih hidup dalam kondisi memprihatinkan.

Bahkan, gejala Autocratic Legalism terwujud dengan terbitnya Omnibus Law, UU IKN, dan Perppu Ciptaker yang mengesampingkan partisipasi publik.

Korupsi pun terus merajalela, baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kebebasan politik semakin terancam dengan UU ITE, peretasan akun medsos kelompok kritis, hingga kriminalisasi aktivis. Penegakan HAM semakin samar dengan tidak adanya proses peradilan atas peristiwa tersebut.

"Teman-teman bisa lihat apa yang terjadi saat ini makin jauh, bahkan cenderung mundur ke belakang," tegasnya.

Maka untuk kembali meluruskan jalan reformasi, PIM Jabar memandang perlu melakukan Kritik-Oto Kritik lintas generasi dalam membangun pemahaman bahwa Indonesia butuh perubahan. Untuk itu, forum dialog ini diselenggarakan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: