Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rayakan Satu Dekade, CEO Ralali.com Ungkap Strategi Bertahan di Berbagai Masa

        Rayakan Satu Dekade, CEO Ralali.com Ungkap Strategi Bertahan di Berbagai Masa Kredit Foto: Nadia Khadijah Putri
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Platform jual-beli untuk bisnis ke bisnis (B2B) yang berbasis di Indonesia, Ralali.com, baru-baru ini merayakan satu dekadenya sebagai perusahaan teknologi (startup). Perusahaan tersebut hadir dalam konferensi pemasaran dan teknologi Vibe Martech Fest 2023 yang dihelat di Jakarta pada Selasa (1/8/2023).

        CEO Ralali.com, Joseph Aditya menjadi pembicara untuk panel diskusi bertajuk Can Personalisation Streamline Customer Engagement? bersama pembicara lainnya, yang membahas tentang perusahaan atau merek menyediakan personalisasi terbaik untuk keterlibatan pelanggan. 

        Atas kesempatan tersebut, Warta Ekonomi mewawancarai Joseph secara langsung di konferensi tersebut. Berikut wawancara lengkapnya. 

        Baca Juga: Konferensi Pemasaran dan Teknologi Vibe Martech Fest Hadirkan 200+ Pemimpin Perusahaan

        Baru-baru ini, Ralali merayakan ulang tahunnya yang ke-10, seperti apa dampak Ralali yang fokus di B2B selama ini?

        Bicara soal dampaknya, adalah waktu 10 tahun lalu kan, tidak ada yang membuat platform bisnis ke bisnis (B2B), hampir semua bisnis ke pelanggan (B2C). Jadi kami yang pertama membuat platform B2B dan banyak sekali inovasi selama 10 tahun terakhir ini. Dari platform yang pertama, terus akhirnya kami juga membuat inovasi yang lain termasuk ekosistem Ralali, ada Ralali Agent. 

        Ralali Agent menghubungkan antara pelaku bisnis dengan tenaga kerja. Jadi banyak banget ekosistem yang sudah berkembang melebihi perusahaan e-niaga (e-commerce) selama 10 tahun terakhir.

        Ralali bukan hanya menyediakan tempat e-niaga (e-commerce marketplace), kami juga menyediakan pembiayaannya. Kami juga menyediakan marketplace untuk tenaga kerjanya. Jadi satu lingkaran kebutuhan bisnis dari bisnisnya, pembiayaan, sampai orang (tenaga kerja), kami siapkan dalam satu platform.

        Ralali kabarnya meluncurkan Kalibrasi.com dan Limbah.id, seperti apa kedua platform ini dan bagaimana langkahnya di kuartal ketiga tahun ini? 

        Kalibrasi.com salah satunya itu adalah contoh dari kreasi bersama perusahaan (co-creation). Jadi co-creation dari Ralali dengan pelaku industri karena Ralali selama 10 tahun sudah membuat ekosistem yang bisa dipakai untuk semua bisnis, sebab semua bisnis masih butuh pembiayaan, orang, dan lain-lain. Nah, sekarang Ralali masuk ke vertikal. Ralali bekerja sama dengan pelaku industri tersebut dengan meluncurkan yang namanya Kalibrasi.com. 

        Konsepnya adalah satu tambah satu menjadi 11, kami menyebutnya. Jadi satu tambah satu bukan dua, tetapi menjadi 11 karena kami membuat platform spesifik (niche) untuk targetnya. Kalibrasi.com berarti untuk sektor industrial seperti manufaktur, pabrik, segala macam. 

        Kemudian, kami bekerja sama dengan pelaku manajemen limbah (waste management) dengan membuat co-creation. Berarti, Limbah.id. 

        Ke depan, rencananya kami akan membuatnya dalam satu tahun, mungkin paling tidak lima sampai 10 co-creation

        Jadi bagaimana caranya agar Ralali punya ekosistem bisa memberdayakan pelaku industri yang tradisional, terus bisa menciptakan pasar baru.

        [Mengenai Limbah.id, Joseph menjelaskan bahwa limbah dihasilkan dari industri seperti rumah sakit, perusahaan elektronik, perusahaan jamu, hingga pabrik-pabrik lainnya. Ia mengambil contoh limbah ponsel dan memiliki baterai yang tidak boleh dibuang sembarangan karena memiliki zat berbahaya bagi lingkungan. Sehingga perlu ada platform khusus. Pembuangan limbah juga diregulasi dan jika perusahaan melanggar, berefek pada dicabutnya izin dan pemberian sanksi.]

        Soal penggunaan fitur kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Ralali, akses solusi bisnis seperti apa yang ditujukan pada pengguna? 

        Karena konteksnya bisnis, sebenarnya AI kami pakai untuk memberdayakan bisnis, khususnya siklus hidupnya bisnis (life cycle). Life cycle bisnis itu dari apa saja sih? Dari merekrut orang sampai menjual barang dan kira-kira seperti itu kebutuhannya. Nah, Ralali mau ada di mana?

        Kembali lagi karena Ralali mau ada di life cycle-nya, jadi setiap pihak terkait atau stakeholder harusnya bisa menggunakan AI tersebut. Hal yang pasti, paling simpelnya adalah memberikan rekomendasi lebih cepat atau matchmaking lebih cepat. Karena kan, konsepnya Ralali itu platform.

        Misalnya, pencari kerja. Tadi kan saya katakan Ralali punya platform menghubungkan pelaku usaha dengan pencari kerja. Nah itu bisa dipermudah lebih baikm sehingga pencari kerja bisa bertemu perusahaan yang lebih tepat untuk yang dibutuhkannya, atau sebaliknya pelaku industri bisa menemukan pasar yang lebih tepat ke sana.

        Atau juga, bank bisa mencari, atau usaha kecil menengah (UKM) bisa mendapatkan pendanaan ke bank yang lebih tepat sesuai kebutuhannya. Kuncinya adalah untuk mempercepat dan untuk memudahkan.

        Nah tujuan dari pengembangan AI ini, sebenarnya bukan kami buat AI-nya, terus kami pakai sendiri. Kami sebagai platform teknologi, kami membuat kerangka kerja AI-nya, kami berikan ke mereka, karena nanti datanya harus dari mereka yang melatih. Kami lah menjadi mitra teknologi yang mengolah datanya.

        Tentang Ralali Connect yang berupa e-niaga secara sosial (social commerce), belakangan social commerce sempat ramai kontroversinya, namun sejauh ini Ralali Connect telah menghubungkan siapa saja dan mayoritas pengguna tersebar di mana saja? 

        Pertama, Rally Connect itu fungsinya adalah untuk memberikan akses para UKM ini untuk membuat toko digitalnya itu lebih cepat karena Ralali sudah punya koneksinya yang banyak.

        Kami melihat bahwa waktu COVID-19, banyak UKM yang perlu hadir secara digital (digital presence), tetapi kan tidak bisa kehadiran digitalnya hanya ada di Shopee atau Tokopedia. Kalau toko roti, bagaimana kan harus melayaninya? Sehingga harus punya toko sendiri, terus harus non-tunai (cashless) yang memaksa mereka sewaktu COVID-19 untuk melakukan transaksi itu. 

        Kalau harus menyambungkan satu-satu ke berbagai bank, kan kasihan kelamaan. Ralali datang, kami buat versi Ralali yang lebih mini. Jadi Rally Connect semua terhubung dengan fitur-fitur kami, lalu kami berikan pada UKM agar mereka dapat terhubung secara digital. 

        Hasilnya, UKM bisa buat semacam laman situs (website) sendiri, kemudian langsung pasang solusi pembayaran yang diperlukan, layanan antarnya yang mereka tidak perlu ketuk pintu ke layanan ride-hailing atau ojek daring (online). Kami sudah sambungkan semua, sehingga mereka bisa punya kehadiran digital.

        Nah, dipakai untuk siapa? UKM-UKM kecil. Contohnya ketika masa COVID-19, banyak sekali karena ada toko oleh-oleh. Mau jalan-jalan, tidak bisa, ada toko oleh-oleh malah mandek, sudah pasti tidak bisa jualan. Alhasil mereka harus mau nggak mau punya kehadiran digital yang muncul. Tidak hanya di Tokopedia, tapi juga ada di toko digital yang mereka buat sendiri.

        Ini juga sebenarnya tujuan kami, karena kami ingin—meskipun sudah banyak platform di luar sana—tetapi UKM harus mempunyai ekosistem digital mereka sendiri. Jadi, tidak ketergantungan. Kalau misalkan suatu hari, layanan ride-hailing yang punya layanan antar atau kuliner seperti Grab atau Gojek menaikkan harga layanan ke penjual makanannya, UKM masih punya website sendiri, dan bisa mengatur penerimaan pesanan, mengatur layanan antarnya sendiri, kan masih bisa. Kira-kira seperti itu konsepnya.

        Sebagian besar konsep seperti ini berupa kemitraan. Waktu itu, Kami bekerja sama dengan Pak Sandiaga Uno dari Kementerian Pariwisata untuk memberdayakan 10.000 UKM digital di desa wisata. Jadi, banyak dipakai untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan yang punya usaha-usaha kecil, sehingga kami berikan layanan ini ke mereka dan mereka yang membagikan ke bawah. Kira-kira seperti itu.

        Indonesia terus bertumbuh untuk ekonomi digital, UMKM/UKM yang menjadi kontributornya. Dari Ralali, bagaimana proyeksi bisnis B2B yang melibatkan UMKM/UKM untuk satu tahun ke depan? 

        Saya rasa jika bicara soal konversi mereka ke digital kan, mau tidak mau berubah gara-gara masa COVID-19. Mereka dipaksa, bahkan anak sekolah saja sudah pakai Zoom begitu kan. 

        Sehingga melalui masa COVID-19, kami melihat langsung permintaan pelaku usaha. Saya menyebutnya pelaku usaha ya karena kami sebenarnya tidak terlalu fokus ke pelaku yang mikro-mikro, itu kan sampai level nelayan, petani, begitu ya.

        Kami lebih ke UKM atau small medium enterprises (SME), bukan UMKM atau micro, small, medium enterprises (MSME). Jadi, mereka mau tidak mau, sudah mengerti, sudah secara tidak langsung melek tentang digital. Begitu melek, di pasar itu, mereka mulai mencari-cari solusi. Solusi itu kan, misalnya kafe hanya pakai POS-nya, nanti pembayarannya pakai yang beda lagi, nanti beda lagi. Tetapi secara permintaan, sudah naik. 

        Apa yang Ralali sediakan itu ekosistem. Karena naik tadi, kami justru melihat bahwa permintaannya itu naik, untuk kebutuhan di pelaku-pelaku UKM untuk meluncur secara digital (go digital) itu justru naik sekali.

        Terlebih ditambah AI ini ya. Karena mereka akan berpikir bahwa, aduh dulu harus butuh desainer banyak, sekarang hanya langganan US$20, menulis perintah atau prompt, keluar gambar, baru tinggal dirapihkan oleh desainer. Dari lima desainer, mungkin tinggal dua desainer. Belum lagi yang lain-lain.

        Secara bertahap, kami melihat bahwa kebutuhan tersebut akan tumbuh secara eksponensial karena dipaksa. Satu Indonesia dipaksa karena COVID-19 agar menjadi melek.

        Kedua, justru dari proyeksi pasarnya justru sangat secara eksponensial mengarah lebih ke area-area itu. Bagaimana caranya kita menyediakan infrastruktur yang tepat agar mereka bisa bertumbuh. Makanya, kami menyediakannya, dari orang, pasar, pembiayaan, nah sisanya pendukung. Jadi intinya ada di tiga itu, sisanya adalah pendukung.

        Ralali sebagai B2B e-commerce juga bersaing dengan kompetitor lain, bagaimana tetap bertahan dan menonjol?

        Baik, saya pikir kalau berbicara tentang persaingan atau di lapangan kondisinya seperti apa, pertama-tama, Ralali lebih ke arah ekosistem B2B. Arahnya itu kanal agnostik, yang semua bisnis bisa menggunakan kami. Karena seperti banklah, semua bisnis mau pakai bank, mau transfer ke mana pun kan bisa, jadi secara mendasar mereka tidak pernah memilah-milah begitu.

        Hal inilah yang membuat Ralali bisa dipakai oleh semua pelaku, dari kecil sampai besar, itu bisa pakai dan Ralali sudah membuat ekosistem yang khusus ke sana.

        Saya bisa bilang setiap bisnis pasti butuh orang enggak? Butuh. Setiap bisnis butuh pasar enggak? Butuh mitra enggak? Butuh. Setiap bisnis butuh pendanaan atau pembiayaan enggak, atau akses ini? Pasti butuh. Jadi, ini horizontalnya nih.

        Di pasar sekarang, Indonesia sudah tidak ada lagi yang membuat satu horizontal seperti ini, sudah tidak ada lagi. Sama seperti di pasar Indonesia, tidak ada lagi yang membuat penantang Tokopedia lah. Yang ada apa sih sekarang? Itu vertikal.

        Misalkan ada Sayurbox dan lain-lain. Itu kan sebenarnya kan turunan dari kategori Tokopedia bagian grosir menjadi Sayurbox. Secara mendasar adalah, kalau ditanya siapa saingan ekosistem seperti kami ini, sepertinya entah mereka sudah menjadi kompetitor kami dan hioang, sudah mati semua dan kami masih bertahan, atau mungkin tidak dapat berkompetisi dengan kami, atau yang kedua tadi, yang muncul yang baru-baru. Sudah tidak mau buat seperti kami. Layaknya sekarang mau menyaingi Tokopedia, sudah malas kan? Ya sudah, misalkan saya mau membuat yang fokus saja, skincare deh, misalkan begitu. Alhasil lebih menjadi vertikalisasi.

        Kalau dilihat dari kami, melihatnya justru lebih banyak yang B2B yang tadi saya katakan sudah banyak dari itu, banyak yang vertikal. Industri vertikal inilah yang bersaing di lapangan. Karena skincare A ketemu skincare B, sama-sama mau menyuplai, misalnya kemana begitu. Misalnya yang lain produksi bahan makanan X dengan Y. Jadi mereka mau kemana? Nah, mereka lah yang saingan, jadi bukan dari platform B2B, kira-kira begitu. 

        Lagi-lagi, platform kami agnostik, itulah perbedaan besar kami. Kedua, kami murni sebagai perusahaan teknologi. Beberapa perusahaan, ada yang bukan murni platform teknologi, banyak orang di lapangan. Sedangkan kami hanya 200 karyawan, bahkan sekarang kurang dari 200 karyawan, mungkin hanya 150-160 karyawan. Jadi memang murni mengembangkan teknologi.

        Jadi jika kami harus menonjol atau stand-out, tetaplah menjadi perusahaan teknologi saja, yang harus bisa dipergunakan oleh berbagai macam bisnis. Agnostik begitu sih.

        Terkait platform untuk pekerja lepas/freelancer seperti Ralali Agent, sebenarnya apa pembedanya dengan platform lainnya dan bagaimana tetap menjadi top of mind di kalangan pekerja lepas? 

        Pembeda lainnya, hmm. Sebenarnya mungkin kalau pekerja itu lebih luas ya, luas itu maksudnya seperti, saya juga tidak tahu kerjanya apa saja. Namun yang pasti kalau dari kami itu, Ralali Agent itu tujuannya adalah membantu bisnis. Jadi dari ekosistem yang ada di Ralali sudah ada, mereka pasti butuh orang.

        Kalau arahnya bisnis, berarti kemungkinan besar yang kami fokuskan itu tadi, Anda butuh orang untuk mendorong penjualan atau butuh orang untuk bantu produksi ketika ada penjualan.

        Contohnya katering. Misalnya perusahaan katering mendapat pesanan langsung 2.000 pesanan. Mereka pasti tidak siap tenaga kerjanya. Biasanya hanya menyediakan 200 pesanan kan, tiba-tiba mendapat 2.000 pesanan. 

        Nah, klasterisasi dari kebutuhan orang katering tadi itu biasanya kalau di platform pekerja lepas, tidak ada, karena tidak ada yang spesifik untuk pekerjaan seperti pemotong sayur ini, bukan bisnis begitu. Arahnya itu pekerja lepasannya tuh adalah desainer, pengembang situs (web developer), pengisi suara (voice over), penata rias (makeup artist), atau fotografer. Industri yang arahnya adalah industri kreatif. 

        Kami lebih kepada pekerja kerah biru, seperti pekerjaan sales, semacam pekerjaan lainnya yang sangat-sangat produktif sehingga kami menyebutnya pekerja produktif. Jadi kami pekerja produktif, bukan pekerja kreatif. Kami produktif bekerja di sales, orang yang bisa kanvas. 

        Misalnya di satu daerah ada berapa apotik, nah sebarkan orang untuk melakukan kanvas, mendapatkan data, sangat-sangat ditujukan untuk bisnis, untuk menumbuhkan sebuah bisnis. Dan, memangnya enggak ada kreatif? Iya ada. Tetapi lebih baik kami bermitra saja dengan platform sebelah yakni Sribu.com. Mereka sudah punya 10 ribu pekerja kreatif.

        [Joseph menyebutkan tipikal Ralali Agent adalah pekerja yang dibayar sesuai kebutuhan atau pay on demand].

        Saat ini, Ralali Agent itu belum kita spin off [terpisah dan untuk menjadi platform yang sering diingat orang atau top of mind]. Jadi, mirip seperti Grab sama OVO kan terpisah. Kira-kira seperti itu. Nah, jadi sama. Ralali Agent ini nggak kami paksakan terlalu, sebagai platform terpisah untuk saat ini.

        Kami melihatnya ini sebagai paketan atau bundling. Jadi, kalau bergabung di Ralali.com, baru bisa pakai servisnya Ralali Agent. Jadi, Anda enggak hanya mau pakai langsung ke sana. Kami enggak memasarkan sebagai top of mind-nya ini. Tapi, kami terlibat dengan bisnis, ketemu tadi, brand-brand tadi, mau melakukan apa.

        Nah, setiap kali mereka mau melakukan bisnis begitu pasti ada orang kan? Kami tinggal melakukan apa? ‘Oh tenang bu, kami punya.’ Kami menyebutnya adalah pemasaran yang disematkan (embedded marketing). Pemasarannya bukan yang agennya mengiklan sendiri, Ralali.com mengiklan sendiri. Akhirnya itu sangat-sangat menghabiskan biaya.

        Sekarang di Ralali.com, Anda masuk, kami bisa bantu Anda untuk menumbuhkan bisnis. 'Oke, Pak, mau kemana? Ke Makassar. Oke, kami tanyakan. Sudah ada tenaga kerjanya? Belum ada. Oke, coba.'

        Apakah dengan satu dekade Ralali ini, perusahaan terbuka dengan pendanaan baru? Jika iya, apakah boleh mengungkapnya berapa nilainya dan di tahap pendanaan apa? 

        Sebenarnya udah sempat mengungkapkan (disclose) sih, beberapa kali. Jadi, kami memang pastinya ada pendanaan baru yang sedang kami cari, di tahap pendanaan baru. Sekitar US$30 sampai US$50 juta untuk securing-nya. Periodenya mungkin di tahun ini sampai di... ya tahun inilah. Karena Ralali itu setiap tahun pasti menutup putaran pendanaan (closing round).

        Itu untuk sejauh ini. Jadi, pastinya kita berencana untuk closing.

        Nah kegunaannya untuk apa? Untuk ekspansi tadi, untuk ada beberapa bisnis unit yang kami ingin spin-off, salah satunya Kalibrasi.com. Kami spin-off menjadi perusahaan terpisah. 

        Kami juga ada rencana untuk ekspansi bisnis. Jadi, bantu bisnis dari Indonesia untuk jualan ke luar negeri dan sebaliknya. Jadi, cross-border.

        Satu dekade ini titik baliknya. Mungkin pasca pemilu atau kapan, kita berencana untuk ke pabrik.

        [Mengenai] cross-border, saat ini kami fokus kebanyakan di Indonesia. Kami pernah buka tahun 2019 di Thailand. Sampai 2021 kami jual ke grup Thailand. Jadi, kami benar-benar mau fokus ke Indonesia. Kami cukup punya kapabilitas untuk… karena kan startup sekarang lagi berdarah-darah, kan? Jadi, begitu kami sudah bisa stabil, ya menghasilkan keuntungan di Indonesia, lalu kami ekspansi.

        [Di akhir wawancara, Joseph mengonfirmasi bahwa tahap pendanaan baru masih terbuka, dan dalam tahap eksplorasi pendanaan. Investor kebanyakan berasal dari luar negeri dan Joseph belum bisa memberi tahu rinci siapa pemimpin pendanaan tersebut. Joseph juga mengatakan, pendanaan tersebut mundur namun tetap akan berlangsung pada tahun 2023]

        Ralali telah tersebar di kawasan Asia seperti Thailand, Jepang, Korea, sebenarnya apa strategi perusahaan hingga dapat melebarkan sayap ke negara tersebut?

        Sebenarnya kunci platform B2B itu kan menghubungkan dalam negeri, nasional ke nasional, terus dari luar ke dalam nasional, atau nasional ke luar. Jadi, mimpinya sebenarnya... demokratisasi bisnis. Dengan internet kan, orang dari Papua bisa beli ke Jakarta, Jakarta bisa beli ke mana. Itu kan dasarnya seperti itu.

        Nah, kenapa kami enggak buat global? Karena kan Indonesia memproduksi sesuatu, kami bisa memiliki sesuatu dari itu. Indonesia juga bisa beli sesuatu dari luar, masuk ke dalam. Jadi, kami melihat bahwa seharusnya, bukan hanya UKM-nya yang tumbuh di Indonesia, tapi kami melihat bahwa penghasilan menengahnya naik. Penghasilan menengahnya naik, berarti akan banyak bisnis di Indonesia. Secara berangsur, pasti akan banyak hubungan luar negeri, dalam negeri karena kebutuhan.

        Kalau penghasilan menengah naik, kalau itu konsumsinya naik, maka orang mau berani nonton film, makan di luar, jalan-jalan keluar kota, keluar negeri, dan sebagainya.

        Nah, kami melihatnya bahwa itu bertumbuh, ya pastinya bisnis seperti kami akan dibutuhkan, karena Indonesia akan dilirik, lalu siapa kanal yang akan dilihat.

        Ketika kami berbicara soal cross-border, ini lebih spesifik dan penting untuk dicatat. Cross-border itu bukan hanya saya cariin market, atau dari luar--misalkan perusahaan Jerman mau masuk Indonesia-- tapi juga orang-orang lain itu bantu untuk dari segi akses ke perizinan dan lain-lain.

        Ya, karena kan tidak bisa hanya kayak, oke saya mau beli ini dari sana, gitu. Tapi barang-barang sudah SNI belum? Nah, untuk itu kami juga ada layanannya sendiri untuk Ralali yang memang fokus membantu perusahaan untuk cek-cek seperti itu.

        Ralali sebagai platform, kami mengajak konsultan, lembaga sertifikasi, kalau memang mereka butuh SNI atau apapun, BPOM, gitu. Nah, jadi kami mengajak mitra atau partner-partner tadi, sehingga UKM enggak perlu meeting satu-satu supaya mendapatkan 10 izin. Sudah, Ralali bantuin, kita percepat sama mereka. Nah, buat mereka, tinggal duduk manis, karena kami sudah sortir, jadi cepat. 

        Ralali tersegmentasi untuk B2B, lantas bagaimana perusahaan menjalin hubungan dengan korporasi sebagai pelanggan? 

        Kalau korporasi, pastinya kan kami sering lakukan event dan kemitraan (partnership) juga. Banyak event, partnership, terus gathering juga. Jadi memang kalau secara aktivitas, banyak lebih di arah ekspo, terus kemudian gathering, tipenya B2B lah untuk bertemu korporasi. 

        Hanya saja karena sudah bekerja sama, biasanya kami tugaskan satu penanggung jawab (PIC), atau GK untuk menangani kebutuhan klien tersebut.

        Jadi hubungannya lebih banyak, tadi, join business plan, mau kemana satu tahun ini? Misalkan, target harus berapa kali lipat? Kemudian kanalnya, banyak kan target perusahaan, harus buka berapa titik, penjualan berapa, atau harus untung berapa. Atau bahkan ada yang spesifik banget, misal principal dari Jerman bilang harus leverage B2B channel.

        Entah kenapa tahun ini, banyak banget merek dari luar tuh rata-rata mencari kami. Semudah seperti principle-nya, hanya bilang seperti itu, harus mencari B2B commerce.

        Nah, itu baru bisa kerja sama bareng, tahu tujuannya mau kemana, mereka mau tumbuh berapa kali. Nah, baru kami bisa komitmen bersama. Kami masukkan sumbernya atau chip-in resources, dia harus chip-in resources.

        Satu lagi yang mungkin bisa ditambahkan adalah, kami mencoba untuk membuat kliennya berhasil, karena kami dapat bayarannya ketika mereka sukses. Jadi, dibayar sesuai performanya (pay per performance).

        Mereka ada komitmen di depan, tapi nyatanya kami juga yang turut bantu mereka bertumbuh. Jadi, kami punya tanggung jawab untuk bikin mereka grow

        Dalam satu dekade ini, apa saja tantangan mengelola tim Ralali?

        Kami sebagai startup itu sendiri, ada tahap (stage)-nya kan? Maksudnya ada stage dan waktunya (timing).

        Stage itu maksudnya, ada tahap awal (early stage) atau tahap berkembang (growth stage), Seri A, Seri B begitu kan? Itu stage. Timing, apakah tahun 2021, mungkin lagi gampang, uang lagi gampang, 2022 tiba-tiba lagi perang, kan?

        Dalam kondisi stage dan timing yang berbeda itu butuh pemimpin yang berbeda pula, menurut saya. Di saat ini, Ralali sudah 10 tahun, tujuannya adalah membentuk pemimpin yang memang lebih profesional arahnya, yang menjadi perusahaan yang umurnya segitu, di mana sudah secara profesional, ada auditor, mengerti caranya manajemen strategis.

        Pertama, dari segi kepemimpinan (leadership) pasti ada perubahan. Jadi, mungkin yang orang yang lama-lama menjadi pendukung, karena menjadi tidak relevan lagi untuk skala berikutnya. Pendukung itu berarti, ya sudah sampai sini, ya sudah. Kemudian dibesarkan yang di sini semakin dalam. Jadi, akan ada perubahan. 

        Kedua, karena Ralali juga sudah menuju profitabilitas dan penawaran umum perdana (IPO) atau melantai di bursa (go public), mindset-nya harus berdasarkan memberikan nilai atau pendapatan lah untuk perusahaan. Jadi, DNA-nya berubah juga. 

        Jadi, selain kepemimpinannya berubah lebih profesional, DNA-nya menjadi lebih memberikan nilai, daripada mengembangkan jualan atau apapun, lebih kepada memberikan nilai. Karena kalau kami memberikan nilai untuk klien, dan klien bersedia memberikannya ke kami.

        Nah, itulah dua perubahan utama kami. Dari segi kepemimpinan atau leadership menjadi lebih profesional, perusahaannya sendiri lebih patuh. Kami punya dua sertifikat ISO, audit-nya juga dari perusahaan 10 besar. Jadi, sudah memenuhi untuk ke sana.

        Kemudian bagian kedua adalah budaya (culture). Culture-nya harus memberikan nilai, didorong oleh penjualan atau sales-driven.  

        Pekerja milenial dan Gen Z sering dibahas banyak orang, sebenarnya di Ralali, bagaimana agar tetap melekatkan mereka dan produktif? 

        Saya pikir, bercampur, kebanyakan Indonesia itu milenial lah. Gampangnya, Indonesia sebagian besar kan 70% usia produktif, jadi milenial, boleh dibilang.

        Komposisi kami 90% mungkin, bahkan, itu isinya adalah milenial. Banyak sekali. 

        Karena milenial sudah makin tua, sekarang sudah generasi alfa kan. Sudah Zinneal, kemudian generasi Z, jadi milenial 10-15%. Saya pikir sih, bercampur.

        Begini, untuk yang go to market harus lebih milenial dan lebih relevan dengan hari ini. Jadi, lebih muda, lebih relevan. Bukan berarti yang tua enggak relevan, tapi yang lebih relevan. Kalau enggak, ya tadi cari yang muda. Karena biasanya lebih relevan.

        Contohnya, anak muda itu udah pasti pakai smartphone. Orang tua belum tentu. Jadi, yang kami cari itu, atau yang anak muda atau yang relevan. Orang tua nyatanya tetap pakai smartphone canggih. Bukan hanya karena dia mampu beli iPhone, tapi benar-benar, ‘oh lu pakai apa? Bayar apps nih.’ Benar-benar pakai.

        Pastinya go to market, cari orang yang lebih relevan. Kemudian, kami 10%-nya lebih ke arah, tadi, mencari orang-orang yang punya pengalaman. Harapannya adalah orang yang 10% ini menurunkan kebijaksanaan atau insight-nya ke 90% milenial tadi, dan 90% mengajari yang 10% tadi tentang perubahan yang ada di pasar. 

        [Untuk merangkul milenial], beda waktu, beda [pengelolaan]. Dulu itu kan persaingannya startup, yang memberikan fasilitas, lebih banyak yang menang. Jadi seperti, wah Shopee, makanannya tidak terbatas atau unlimited. Bahkan makanannya nggak hanya snack lagi, bisa milih lagi, mau bubur atau apa. [Joseph tertawa]. Dulu berlomba-lomba seperti itu. 

        Nah, sekarang bukan berarti kami ikut-ikutan, kami enggak terlalu ikut-ikutan, karena kami platform B2B. Cuman, sekarang untuk bagaimana memelihara talenta atau menarik talenta adalah dengan menunjukkan bahwa kami sebagai perusahaan tetap bisa bertahan dan kami perlahan bisa menghasilkan profit, dan karena kami profitable, kami bisa bagi-bagi bonus. Arahannya sudah bukan lagi senang-senang, karena kami sudah 10 tahun, sudah bukan happy-happy.

        Kami akan bilang, tujuannya harus profitable. Kalau kami tidak profitable, atau kami tidak bisa mencapai tujuan menjadi perusahaan terbuka atau apapun, lantas kami tidak membuktikan apa-apa ke pasar. Kami hanya membuktikan bahwa kami ambil uang investor, kami habiskan tapi enggak bisa mengembalikannya. 

        Itu yang saya berikan ke orang-orang. Kalau mereka tidak paham, tidak mau mengerti ya sudah sayang sekali. Berarti kami perlu mencari seseorang yang kulturnya lebih relevan dengan kami.

        Apa pesan untuk startup B2B agar tetap bertahan dan berkontribusi untuk ekonomi digital?

        Pesannya ini, kalau mau berbisnis B2B, kontak Ralali.com. Artinya bukan kami jualan, tapi kami percaya bahwa kami punya pengalaman 10 tahun. Kami sudah ngerasain dari era yang berbeda bahkan era COVID-19 saja kami bertahan. Banyak teman saya yang usaha B2B, mati.

        Jadi buat saya, kalau kamu anak baru-baru mulai, lah ngapain you start terus berdarah-darah, jalan-jalan, sedangkan you tinggal ngobrol atau tinggal kerja sama Ralali.com. Kami tunjukkan semua jalannya dan tinggal kami kasih saran. ‘Janganlah, nanti malah kita saingan, you juga enggak menang. Mendingan you ambil sektor ini, kami support you menang.’

        Jadi kami mencari untuk B2B, lebih tepatnya secara khusus, jangan semua kerjain sendiri. Berkolaborasi dengan pemain yang mapan. Selalu manfaatkan pemain lebih mapan. Terakhir, saya selalu percaya bahwa satu tambah satu menjadi 11. Jadi seharusnya tidak hanya bermitra atau berkolaborasi tetapi co-creation adalah tujuan tertingginya. Karena kliennya sama. 

        Baca Juga: OJK: Penetrasi Internet Naik 216 Juta Pengguna, E-Commerce Kontribusi 80% Ekonomi Digital

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: