Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tega! Oknum Guru Honorer di Minahasa Cabuli 13 Siswi SD, KemenPPPA: Pelaku Bisa Kena Tambahan Pidana

        Tega! Oknum Guru Honorer di Minahasa Cabuli 13 Siswi SD, KemenPPPA: Pelaku Bisa Kena Tambahan Pidana Kredit Foto: KemenPPPA
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyoroti kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pengajar terhadap anak didik yang masih terus terjadi. Kasus terbaru adalah dugaan perbuatan cabul terhadap 13 siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. 

        Pelakunya diduga adalah guru honorer berinisial CA (29 tahun) yang saat ini sudah ditahan oleh pihak Polda Sulawesi Utara. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, menyatakan apresiasi atas gerak cepat dari aparat pihak kepolisian Polda Sulawesi Utara setelah mendapatkan laporan dari media sosial dan kerjasama koordinasi yang baik dengan Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Utara.  

        Baca Juga: Dorong Implementasi UU TPKS, Kemen-PPPA Tingkatkan Koordinasi Aparat Penegak Hukum

        "Kami prihatin dengan kasus dugaan pencabulan yang dilakukan terhadap 13 siswa sekolah dasar di Kabupaten Minahasa di mana pelakunya justru tenaga pendidik yang seharusnya memberikan ruang pengajaran yang aman bagi anak, sebagai pelindung dan panutan anak didiknya. Dalam hal ini, terduga pelaku telah merusak salah satu tahapan tumbuh kembang para korban yang rata-rata berusia 10 – 12 tahun. Kami berterima kasih pihak aparat kepolisian segera menangkap terduga pelaku dan kami mendorong pihak kepolisian untuk mengenakan ancaman pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak," ujar Nahar dalam keteranganya, Selasa (8/8/2023).

        Mengingat terduga pelaku adalah tenaga pendidik maka kepadanya dapat dikenakan pidana tambahan.

        "Pada kasus ini, pelaku diduga telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak yang melanggar pasal 76E  UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Selanjutnya dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang dimaksud dikarenakan terduga pelaku merupakan pendidik sesuai pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," tegas Nahar. 

        Saat ini, semua korban sudah kembali bersama dengan orang tua masing-masing dan telah kembali bersekolah. Untuk penanganan trauma yang ditimbulkan, Nahar menyebut para korban sudah mendapatkan penjangkauan oleh Dinas PPPA Kabupaten Minahasa. Begitu juga dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sulut yang telah melakukan pendampingan psikologis dan pemeriksaan oleh psikolog.

        "Untuk rencana tindak lanjutnya, Tim SAPA dari Asdep Pelayanan Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) KemenPPPA akan melakukan koordinasi lanjutan dengan DPPPA Kabupaten Minahasa terkait pendampingan lanjutan terhadap AMPK korban. Tim SAPA juga akan terus memantau proses hukum yang sedang berjalan sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Selain itu, dibutuhkan pendampingan psikologis yang intensif kepada para korban agar dapat mengikuti proses hukum secara maksimal dan pendampingan yang bersifat rehabilitatif atau intervensi psikologis untuk fungsi pemulihan dari dampak traumatis yang ditimbulkan dari peristiwa yang dialami," jelas Nahar.

        Baca Juga: Remaja di Lampung Jadi Korban Pemerkosaan Kakek 69 Tahun Hingga Hamil, Kemen-PPPA Turun Tangan

        Kasus ini, menurut Nahar, terjadi tidak terlepas dari adanya ketimpangan relasi kuasa yang besar antara terduga pelaku dan korban. Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan yang dilakukan oleh terduga pelaku yang dalam aksinya juga disertai dengan tindak ancaman dan bujuk rayu yang memposisikan korban berada dalam tekanan psikologis.

        "Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan adalah karena relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku tenaga pendidik dan juga ada ketergantungan yang besar dari anak didik untuk bisa naik kelas ataupun lulus sekolah dengan nilai baik. Posisi anak didik sangat lemah apalagi pelaku juga biasanya mengancam para korban. Dibutuhkan kesadaran dan kewaspadaan dari sesama tenaga pendidik jika melihat ada perubahan perilaku dari anak didiknya atau tindakan oknum pendidik yang mencurigakan. Orang tua juga diharapkan selalu berkomunikasi dengan anak-anak mereka dan terus menjelaskan kepada anak-anak mereka bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain," tutup Nahar.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: