- Home
- /
- Government
- /
- Government
Dorong Implementasi UU TPKS, Kemen-PPPA Tingkatkan Koordinasi Aparat Penegak Hukum
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menguatkan mandat penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional melalui upaya penguatan antar lembaga yang melibatkan aparat penegak hukum, di antaranya kepolisian dan kejaksaan.
Sekretaris Kementerian, Pribudiarta Nur Sitepu, mendorong implementasi UU TPKS dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban dapat dimaksimalkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Baca Juga: Remaja di Lampung Jadi Korban Pemerkosaan Kakek 69 Tahun Hingga Hamil, Kemen-PPPA Turun Tangan
"Kementerian PPPA mendapat mandat tambahan melalui tugas dan fungsi penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional, serta penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional melalui Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129," jelasnya.
"Dengan tingginya angka dan pelaporan kasus kekerasan, kita perlu juga memperkuat sinergitas dan kolaborasi penanganan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan baik melalui tim terpadu yang selama ini sudah berjalan dengan melibatkan Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Ahli Pidana termasuk koordinasi dengan para APH," tutur Pribudiarta dalam keterangannya, Jumat (4/8/2023).
Hotline SAPA 129 pada tahun 2021 mencatat 1.010 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk, sedangkan di tahun 2022 terjadi kenaikan yang signifikan aduan menjadi 2.346 kasus, dan di tahun 2023 pada bulan JanuariāJuli sudah diterima aduan sebanyak 949 kasus.
"Berbagai data ini patut menjadi perhatian yang serius bagi kita semua. Apalagi, angka-angka ini hanyalah angka laporan, artinya di lapangan jumlah kasus yang terjadi jauh lebih banyak. Kasus kekerasan ini seperti fenomena gunung es yang kelihatan kecil di permukaan karena alasan malu, tabu, bahkan dipengaruhi faktor kepastian hukum yang belum jelas dan menyebabkan banyak perempuan yang tidak melaporkan kasus yang menimpa mereka," tutur Pribudiarta.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini, ujarnya, menjadi perhatian bersama sehingga para perangkat penegak hukum harus benar-benar dapat mengakomodasi keadilan dan pemulihan bagi korban, serta memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku menggunakan instrumen hukum yang tepat bersifat lex specialis, yakni UU TPKS.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Advertisement