Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pengerukan Nikel yang Cepat Terkendala ESG, Begini Respons Anak Buah Luhut

        Pengerukan Nikel yang Cepat Terkendala ESG, Begini Respons Anak Buah Luhut Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Permintaan nikel untuk memenuhi pasokan baterai mobil listrik terus meningkat. Sayangnya, pengerukan nikel turut cepat dilakukan. Ini menjadi batu sandungan terhadap Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang sempat dipertanyakan ekonom Faisal Basri terhadap Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) beberapa waktu lalu. Apa tanggapan kementerian tersebut?

        Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto menjelaskan bahwa kritik ESG benar adanya dan pihaknya masih berupaya untuk mematuhi ESG.

        Seto mengatakan, ketika akan menutup atau membuka ekspor nikel, aktivitas pertambangan pasti meningkat. Alasannya, permintaan terhadap nikel meningkat pesat. 

        Baca Juga: Mengapa Hilirisasi Dapat Dukung Ekosistem Baterai dan Mobil Listrik?

        “Apa yang harus dilakukan? Maka kita semua harus meningkatkan pengawasan dan pemantauan wilayah tambang,” ujar Seto di kanal YouTube Rhenald Kasali bertajuk Serang Balik! Dibela Tangan Kanan Luhut sampe Ditahan Elon Musk | Intrigue #08 yang dilansir pada Minggu (27/8/2023). Seto melanjutkan, pengawasan tersebut juga berlaku untuk smelter nikel.

        Lanjutnya, saat ini smelter nikel di Halmahera Selatan yang dipegang oleh Trimegah Bangun Persada tengah menjalani proses sertifikasi Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). IRMA adalah inisiatif sertifikasi yang didorong oleh Ford, Tesla, Microsoft, dan Apple untuk memastikan rantai pasok yang mereka miliki sesuai dengan standar ESG yang disepakati. Selain Trimegah, Vale Indonesia juga demikian.

        Seto mengatakan, tuntutan perusahaan tambang untuk memenuhi ESG tidak hanya datang dari pemerintah saja, tetapi juga buyer atau perusahaan yang membutuhkan nikel tersebut. 

        “Ini kami dorong kok, pemerintah akan menerapkan sanksi yang ketat,” sambung Seto. 

        Lantas karena permintaan yang tinggi dan pengerukan nikel yang cepat, ini akan menghabiskan pasokan nikel yang belum tentu dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Apa tanggapan Seto?

        “Kami sedang evaluasi resupply kita dengan kapasitas produksi yang sekarang dan mungkin akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan, itu kira-kira 20 tahun,” jawab Seto. Beruntungnya, baterai nikel dapat didaur ulang atau recycling dan Indonesia memiliki cadangannya sebanyak 20.000 ton di Morowali, Sulawesi Tengah, lanjut Seto.

        “Di sana sudah menggunakan recycling dari baterai-baterai bekas. Jadi setelah 20 tahun, estimasi kami bahkan mungkin sampai tahun 2035, di Amerika dan Eropa, permintaan suplai nikel mereka tidak lagi sebagian besar dipenuhi dari tambang, tapi dari daur ulang ini,” beber Seto. Menurutnya, daur ulang tersebut mungkin terjadi karena baterai mobil listrik memiliki umur antara 8 tahun–12 tahun. 

        Alhasil, ketika sudah berkapasitas 80% dan baterai mobil listrik harus diganti, baterai ditarik oleh produsen, kemudian didaur ulang, dan tingkat pemulihan atau recovery rate baterai dapat mencapai 99%.

        “Jadi, limbah baterai yang tidak bisa dipulihkan (recovery), misalnya dalam baterai ini ada 56 kg nikel, maka 99% bisa diekstrak lagi,” imbuhnya optimis. Ia menambahkan, teknologi untuk memulihkan baterai tersebut memungkinkan untuk diterapkan.

        Baca Juga: Siapa yang Nikmati Sumber Daya dan Keuntungan Hilirisasi Nikel?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: