Teten: Dengan Konsep Credit Scoring, Fintech Jadi Solusi Alternatif Pembiayaan UMKM
Teknologi finansial atau financial technology (fintech) khususnya di sektor peer-to-peer lending (P2P) melalui konsep credit scoring diharapkan mampu menjadi alternatif solusi pembiayaan bagi UMKM yang selama ini kesulitan mengakses pinjaman ke perbankan karena terganjal persyaratan kolateral (jaminan), mengingat UMKM merupakan pasar yang besar untuk dioptimalkan.
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop-UKM) Teten Masduki menyebut, dalam survei yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar 69,02 persen UMKM mengalami kesulitan permodalan saat pandemi COVID-19. Data tersebut menunjukkan bahwa bantuan permodalan bagi UMKM menjadi hal yang penting dan dibutuhkan.
“Kuncinya adalah akses pembiayaan. Saya kira hal ini harus di-addressed. Termasuk mengkaji penerapan credit scoring lewat penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sudah diterapkan di 145 negara,” kata Teten dalam keterangannya, dikutip Jumat (15/9/2023).
Baca Juga: Riset Ungkap Ada Empat Klaster UMKM, AFPI: Kebijakan untuk Masing-Masing UMKM Itu Berbeda-beda
Teten melihat, saat ini industri fintech terus tumbuh dan berkembang. Di mana fintech hadir memberikan solusi pembiayaan ke UMKM tanpa menerapkan agunan karena menggunakan teknologi, sehingga mereka mengetahui persis kriteria calon nasabah yang akan diberikan pembiayaan.
“Di fintech, plafon pinjaman sebesar Rp2 miliar sudah diberikan tanpa memakai agunan. Bahkan UMKM yang terhubung dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang) bisa meminjam pinjaman hingga Rp10 miliar. Hal ini merupakan terobosan yang baik bagi UMKM dalam mengakses pembiayaan,” ucap Teten.
Meski begitu, Teten memberikan catatan terkait bunga yang masih tinggi di fintech. Sebab, bunga yang tinggi menjadi persoalan tersendiri dalam mempermudah UMKM mengakses pembiayaan. Tercatat saat ini bunga di fintech berkisar antara 12-18 persen per tahun.
“Kesehatan UMKM yang terpenting bisa membayar kembali pinjaman, maka diharapkan bunga lebih berani untuk diturunkan. Saya optimistis, penurunan bunga di fintech bisa terjadi dan menjadi pertimbangan bagi perbankan, juga untuk berani memberikan pinjaman ke UMKM tanpa agunan,” katanya.
Yang terpenting, kata Teten, pihaknya menyepakati bagaimana membangun ekosistem yang sehat agar setiap rupiah yang dipinjamkan kepada UMKM tidak akan macet karena cashflow usaha mereka sudah bisa terhubung dengan off-taker (buyer). Misalnya dengan membangun klaster agrikultur maupun aquakultur yang menghubungkan antara lembaga pembiayaan dengan petani. “Peran agregator menjadi bagian penting dalam mengembangkan UMKM,” kata Teten.
Ia mengapresiasi, sebesar 96 persen sektor keuangan dalam ekonomi digital dikuasai oleh lokal yang dapat dijadikan benchmark bagi sektor lain. Berbeda dengan sektor e-commerce yang justru lebih dikuasai oleh asing dan hanya sebesar 44 persen dikuasai lokal.
“Sehingga ada yang salah dalam mengatur transformasi digital. Ini yang sedang kita bereskan supaya terbangunnya infrastruktur internet jangan sampai kemudian dinikmati oleh asing,” ucap Teten.
Maka dari itu, Teten mengimbau pelaku UMKM agar terus mengadopsi kemajuan digital, sehingga kesehatan usahanya bisa menjadi track record. Selain itu, UMKM dianjurkan untuk memiliki rencana bisnis.
“Karena pengalaman kami, banyak UMKM yang tak punya business plan, padahal mereka punya potensi bisnis yang besar dengan dukungan bahan baku dan captive market,” jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan, anggota fintech yang berada di naungan AFPI terus berupaya untuk mengoptimalkan pinjaman ke UMKM. Saat ini, sebanyak 40 persen pembiayaan masuk dalam sektor produktif. Tercatat, periode Januari-Juli 2023 penyaluran pembiayaan mencapai Rp58 triliun dan pembiayaan di sektor produktif sebesar Rp22 triliun.
“Pembiayaan sebesar 40 persen ke sektor produktif di Indonesia tergolong sangat besar jika dibandingkan dengan China. Di ASEAN porsi ini cukup diapresiasi. China justru lebih besar strukturnya ke pembiayaan sektor konsumtif. Kami ingin fintech di Indonesia menjadi contoh bagi ASEAN,” ungkapnya.
Sunu menekankan, dalam mengoptimalkan pembiayaan kepada UMKM, dibutuhkan dua hal yang menjadi faktor penting, yakni literasi digital dan literasi keuangan yang tak bisa dipisahkan. UMKM jika tidak bisa mengadopsi digital akan tertinggal.
“Karena digital akan menjadi track record dari cashflow. Misalnya, UMKM di daerah remote, selama terhubung dengan digital, fintech pasti akan berani memberikan pinjaman. Digitalisasi mengonfirmasi kegiatan usaha secara digital,” ucap Sunu.
Digitalisasi, kata Sunu, menjadi kunci untuk menjawab tantangan pendanaan yang selama ini menghambat UMKM untuk berkontribusi lebih terhadap perekonomian.
“Kehadiran fintech P2P lending dalam ekosistem digital bertujuan untuk menyediakan solusi pendanaan yang lebih optimal bagi para UMKM, mengingat keunggulan dari fintech yakni mudah diakses, persyaratan sederhana, dan memerlukan waktu pencairan dana yang relatif singkat,” ujarnya.
Baca Juga: Teten: Kebijakan Transformasi Digital Harus Mampu Lindungi Ekonomi Domestik
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ayu Rachmaningtyas Tuti Dewanto
Editor: Rosmayanti