Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PKS Ogah Lihat Drama 'Masuk Angin' di Putusan MKMK

        PKS Ogah Lihat Drama 'Masuk Angin' di Putusan MKMK Kredit Foto: MPR RI
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengatakan akan mengawasi jalan putusan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Dirinya ingin melihat konstitusi kembali memiliki marwah di Indonesia

        HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap konstitusi dan lembaga MK selaku pengawal konstitusi sangat menurun pasca putusan MK yang mengabulkan judicial review usia calon wakil presiden (cawapres), karena dianggap memberikan karpet merah kepada keponakan dari ketua Mahkamah Konstitusi yang kebetulan adalah putra Presiden Joko Widodo, yaitu Gibran Rakabuming Raka, untuk mudah maju sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

        Baca Juga: Pungli hingga Alih Fungsi Trotoar, PKS Dorong Adanya Penertiban di Pasar Tanah Abang

        “Pasca putusan MK itu, saya mendengar dan membaca banyak sekali keluhan dari berbagai komponen masyarakat yang cinta Konstitusi dan Reformasi, sehingga berdampak pada munculnya ketidakpercayaan yang meluas terhadap MK. Bahkan, tidak sedikit yang menyindir MK sebagai Mahkamah Keluarga atau Mahkamah Keponakan. Ini jelas sangat menyedihkan karena MK justru didirikan di era Reformasi sebagai lembaga peradilan yang kredibel, untuk melaksanakan Konstitusi, untuk mewujudkan cita-cita Reformasi antara lain untuk penegakan hukum dengan memberantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), bukan untuk malah membuka lebar pintu kembalinya nepotisme akibat dari dikabulkannya uji materiil soal dimudakannya usia cawapres,” ujarnya, dilansir pada Selasa (7/11).

        Apalagi, lanjutnya, kemudian terjadi perkara pemeriksaan kode etik ini terhadap Ketua MK Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Jokowi dan paman dari Gibran karena dinilai melanggar kode etik dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan perkara itu.

        “Masyarakat juga memantau proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik yang diperiksa oleh MKMK ini. Dan ada banyak fakta-fakta persidangan kode etik yang terungkap oleh para pelapor dan proses pemeriksaan di sidang,” tuturnya.

        Beberapa fakta yang terungkap adalah, pertama, ada 21 aduan dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim MK dimana seluruh hakim MK dilaporkan, dengan Ketua MK Anwar Usman yang memperoleh laporan terbanyak.

        Baca Juga: Khawatir Putusan Batas Usia Capres/Cawapres MK Dibatalkan Lewat MKMK? Gerindra: Tidak Mungkin

        “Kedua, hampir semua pelapor ingin membatalkan putusan terkait syarat usia cawapres. Ketiga, banyak hakim MK terlihat sedih saat pemeriksaan, bahkan salah satu hakim MK yakni Prof Enny Nurbaningsih menangis saat diperiksa,” imbuhnya.

        Keempat, lanjut HNW, ada dugaan kuat Ketua MK Anwar Usman berbohong kala tidak ikut rapat permusyawaratan hakim (RPH).

        Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Media Asing Soroti Putusan MK yang Disebut Jadi Basis Dinasti Politik

        “Kelima, adanya fakta baru bahwa dokumen permohonan perbaikan uji materi usia cawapres yang akhirnya dikabulkan MK itu, ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon dan kuasa hukumnya,” pungkasnya.

        Apalagi, kata HNW, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie juga sudah menyampaikan secara terbuka kepada publik bahwa memang ada permasalahan di internal MK.

        Baca Juga: Putusan MKMK Jadi Kunci Kembalikan Wibawa Mahkamah Konstitusi

        “Jangan sampai putusan MKMK ini nanti malah dinilai publik sebagai sudah masuk angin, yang akan membuat publik semakin tidak percaya dengan hukum dan lembaga penegakkan hukum, dengan segala dampak lanjutannya, termasuk ketika MK kelak akan menangani sengketa hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Sehingga, sudah selayaknya segala yang bermasalah di MK harus segera dikoreksi untuk menyelamatkan cita-cita reformasi (menolak korupsi dan nepotisme) dan prinsip Indonesia sebagai negara hukum bukan negara kekeluargaan, sebagai NKRI bukan sebagai negara kerajaan,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: