Aktivis Jeirry Sumampow menyoroti ketidakpastian hukum dalam proses Pemilu lalu dan gejala ini juga mulai muncul lagi menjelang Pilkada.
Ia menyebut selalu ada regulasi yang diubah di tengah jalan, termasuk soal Putusan MA.
"Padahal harus jelas aturan mainnya di depan,” tegasnya.
Jeirry juga menyoroti Komisi Pemilihan Umum (KPU), selaku penyelenggara Pemilu, yang cenderung lebih sigap untuk menyesuaikan Peraturan KPU terhadap putusan-putusan yang menyokong nepotisme atau politik dinasti.
"Alih-alih yang menyangkut aspirasi khalayak luas seperti afirmasi 30 persen perempuan dan aturan mengenai peserta pemilu mantan narapidana. Selain itu, KPU juga ditengarai terlibat kasus manipulasi dan jual beli suara di beberapa daerah," tudingnya.
Menengok apa yang terjadi di Pilpres, lanjut Jeirry, peserta pemilu berpotensi menormalisasi yang sebelumnya terjadi di Pilpres, termasuk menyoal pemasangan baliho dan spanduk di luar waktu kampanye.
Peran pemerintah di Pemilu lalu juga ia anggap berlebihan sehingga memungkinkan cawe-cawe politik, termasuk memobilisasi TNI-Polri dan ASN serta politisasi bansos.
"Peran pemerintah mestinya dibatasi... Ke depan, kita tidak boleh lagi termakan oleh politik populisme, yang digunakan membangun dinasti, untuk itu kita harus melampaui populisme itu” kata Jeirry.
Ia juga mendorong agar angka partisipasi pemilih yang dirilis ke publik harus dipastikan betul kebenarannya.
Pasalnya ada preseden bahwa pasca pemungutan suara Pemilu 2024 Februari lalu, yang muncul hanya persentase jumlah perolehan suara.
"Maka dari itu, mari kita amati dan awasi, karena kalau tidak, ini rawan manipulasi. Keburukan Pilpres Jangan Berlanjut di Pilkada!," paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat