Jokowi Harus Bantu, Kebijakan APBN Prabowo Bisa Bahayakan Ekonomi Makro Indonesia
Ekonom senior Indef, Faisal Basri, memberikan komentar mengenai wacana yang dilontarkan oleh Prabowo Subianto tentang penghapusan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Faisal menyatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pelebaran defisit hingga di atas 3% dari PDB membutuhkan ongkos yang sangat mahal.
"Gejolak ekonomi makro bisa terjadi apabila pendapatan negara tidak bisa menopang untuk mengimbangi besarnya pengeluaran belanja pemerintah. Kalau dipaksakan, ya siap-siap saja stabilitas makronya goyang, ongkosnya mahal," ujar Faisal Basri pada Rabu, 10 Juli 2024.
Faisal menambahkan bahwa kondisi ini dapat memicu peningkatan penarikan utang pemerintah yang lebih tinggi dan menggerus disiplin fiskal dalam mengelola keuangan negara.
Sementara itu, Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, mengatakan bahwa Prabowo Subianto masih berkomitmen untuk menjaga defisit APBN sebesar 3%. Menurutnya, batas maksimum defisit APBN sebesar 3% dari PDB penting untuk tetap dijaga dalam rangka menjaga kesehatan dan keberlanjutan fiskal.
Baca Juga: Satu Lagi Beban Prabowo dari Jokowi, Selesaikan Bauran EBT yang Masih Jauh dari Target
Dalam laporan Bloomberg disebutkan bahwa perubahan batas defisit APBN tersebut akan dilakukan melalui pengubahan undang-undang. Selain menetapkan batas di atas 3% untuk belanja, ruang utang pemerintah juga akan dinaikkan menjadi 60% dari PDB. Perubahan ini juga memungkinkan pemerintah mendirikan badan penerima negara di luar Kementerian Keuangan.
Ekonom Bloomberg, Tamara Mas Henderson, mengatakan bahwa jika pemerintahan mendatang menghapuskan aturan defisit anggaran, hal itu sangat mengkhawatirkan.
"Pilihan yang lebih baik adalah pemerintah meningkatkan sedikit batas defisit anggaran, katakanlah menjadi 3,5% dari PDB. Hal ini akan jauh lebih dapat ditolerir bagi para investor dan lembaga pemeringkat, karena pertumbuhan Indonesia relatif kuat," kata Tamara, yang dikutip pada Selasa, 9 Juli 2024.
Dengan pengaruh yang masih tersisa, Jokowi dinilai harus turut memperhitungkan kemungkinan yang ada agar kebijakan pemerintahan selanjutnya tidak salah langkah. Hal ini termasuk menimbang ulang berbagai kebijakan yang harus diteruskan Prabowo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat