Indonesia saat ini tengah menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi tantangan berupa ketabuan dalam membahas edukasi seksual.
Berdasarkan data dari National Centre for Mission Exploited Children (NCMEC) menunjukkan bahwa kasus konten pornografi pada anak di Indonesia menjadi yang terbanyak keempat di dunia dan peringkat kedua pada skala Asia Tenggara.
Baca Juga: Aturan Era Jokowi Ini Bikin Indonesia Terlihat Merestui Seks Bebas
Menanggapi hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan pasal penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Tepatnya pada pasal 103 Ayat 4 butir 'e'.
Sementara itu, Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menentang kebijakan hal tersebut. Pemerintah, menurut dia, seharusnya mendengarkan suara masyarakat. Dia beralasan jika peraturan tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya.
Seharusnya, pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi di sekolah, alih-alih penyediaan alat kontrasepsi.
"Daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas. Yang mereka butuhkan adalah edukasi pendidikan kesehatan reproduksi, bukan kebutuhan alat kontrasepsi," kata Ubaid dalam keterangannya, Rabu (7/8/2024).
Baca Juga: Mengenal Vasektomi, Kontrasepsi Pria Minim Peminat dan Segala Mitosnya
Ubaid menegaskan jika penyediaan alat kontrasepsi tersebut salah tempat. Dia khawatir jika ujung-ujungnya berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak serta meningkatkan kejadian kasus kekerasan pada anak.
Selain itu, anak usia sekolah juga seharusnya berfokus pada pendidikan reproduksi, bukannya melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Pasalnya, anak usia sekolah belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual atau age of consent.
"Ini harus digarisbawahi, age of consent harus mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yaitu 19 tahun. Jadi penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak mengundang bahaya, bahkan tidak ada manfaatnya," jelas Ubaid.
Baca Juga: Menjadi Bintang di Dunia Buku Anak: Prestasi TullipStudio yang Mendunia
Dirinya menekankan, PP nomor 28 tahun 2024 seharusnya dicabut karena dpaat merusak masa depan anak-anak Indonesia. apabila dipaksakan, kata dia, bukan tidak mungkin anak akan makin rentan terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan.
Sebagai catatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 141 aduan terkait kekerasan anak pada awal tahun 2024. Dan ironisnya, 35% kasus terjadi pada lingkungan sekolah atau satuan pendidikan.
Baca Juga: UUS Bank DKI dan Yayasan Pendidikan Fatahillah Jakarta Jalin Kerja Sama Transaksi Perbankan Syariah
Sementara data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak menemukan sepanjang 2023, ada sekitar 1.915 kasus kekerasan seksual pada anak. Angka tersebut mungkin saja bertambah setiap tahunnya apabila dilakukan penyediaan alat kontrasepsi tanpa edukasi dan pemahaman yang tepat terkait pendidikan seks dan alat reproduksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: