Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) sebagai bagian dari upaya mempersiapkan masa depan energi nasional. Draft ini, yang masih dalam proses penyusunan dan akan disesuaikan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), bertujuan untuk menjamin ketersediaan listrik yang berkualitas, terjangkau, serta mendukung pembangunan berkelanjutan.
Subkoordinator Penyiapan Perencanaan dan Kebijakan Ketenagalistrikan Nasional Kementerian ESDM Hasan Maksum manyampaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pembangunan sektor ini memiliki tujuan utama menjamin pasokan listrik yang mencukupi dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, serta mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Jualan Listrik EBT RI Bukan 2 GW, Singapura Minta Tambah Lagi Segini
Saat ini, terdapat 65 pemegang wilayah usaha (wilus) penyediaan tenaga listrik di Indonesia, termasuk PLN dan beberapa perusahaan swasta, yang beroperasi di berbagai wilayah di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.
”Untuk kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia sampai semester 1 tahun 2024 ada 93 Gigawatt (GW) pembangkit yang sudah terpasang. Dimana 74,5 gigawatt atau sekitar 79 persen merupakan pembangkit yang dimiliki oleh PLN,” kata Hasan dalam Forum Bakohumas di Bandung, Kamis, (12/09/2024).
Sementara, terdapat 15,16% atau 14,17 GW berasal dari Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUPTLS). Selanjutnya, terdapat 4,25% atau 3,97 GW berasal dari pembangkit pemegang PPU atau pemegang wilayah usaha (wilus).
Mayoritas kapasitas tersebut berasal dari pembangkit berbasis energi fosil, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menyumbang sekitar 53 persen. Sementara, realisasi pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) adalah 15% atau 13,71 GW.
Pasokan Pembangkit listrik berbasis EBT tersebut 7% atau 6,69 GW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), 3% atau 2,6 GW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), 4% atau 3,41 GW berasal dari PLT Bio dan 1% atau 0,61 GW dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Hasan melanjutkan, untuk mencapai target emisi nol bersih (net-zero emission) pada tahun 2060, pemerintah akan fokus pada pengembangan pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Potensi EBT di Indonesia sangat besar, mencapai 3.686 gigawatt. Hingga tahun 2060, diproyeksikan kapasitas terpasang pembangkit akan mencapai 367 gigawatt, dengan dominasi dari pembangkit surya, angin, hidro, serta penggunaan hidrogen dan amonia hijau.
”Di dalam draft RUKN yang kami susun untuk total kapasitas terpasang di tahun 2060, ini sebesar 367 gigawatt, terdiri dari pembangkit surya sekitar 115 gigawatt, kemudian ada pembangkit angin 37 gigawatt, kemudian untuk hidro 46 gigawatt, kemudian ada pembangkit-pembangkit gas yang akan menggunakan hidrogen sebesar 25 gigawatt, kemudian juga pembangkit gas yang dilengkapi CCS sebesar 12 gigawatt,” lanjut Hasan.
Baca Juga: Luhut: Indonesia Targetkan 62 GW EBT untuk Capai NZE 2060
Draft RUKN ini, juga merencanakan interkoneksi antar pulau untuk memaksimalkan potensi energi yang tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, potensi energi air di Sumatera dan Kalimantan akan diintegrasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa yang memiliki konsumsi energi terbesar. Selain itu, potensi energi surya di Nusa Tenggara Timur juga akan dioptimalkan untuk mendukung kebutuhan nasional.
Kemudian untuk PLTN direncanakan sebesar 9 gigawatt, kemudian untuk PLTP ini sebesar 24 gigawatt, dan untuk pembangkit-pembangkit PLTU, ini kedepannya akan diretrofit menggunakan ammonia sebesar 41 gigawatt dan pembangkit PLTU yang akan co-firing dan dilengkapi dengan carbon capture storage (CCS) sebesar 31 gigawatt.
Porsi EBET dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik nasional tahun 2024 ditargetkan paling rendah sekitar 19% kemudian meningkat menjadi sekitar 23% tahun 2030, 50% tahun 2040, 59% tahun 2050 dan 84% tahun 2060.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Fajar Sulaiman