Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Edelman Rilis Special Report 2024: Mayoritas Konsumen di Indonesia Mengekspresikan Pandangan Politik Melalui Pilihan Brand

        Edelman Rilis Special Report 2024: Mayoritas Konsumen di Indonesia Mengekspresikan Pandangan Politik  Melalui Pilihan Brand Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Edelman, perusahaan komunikasi global membagikan insight baru tentang bagaimana tingkat kepercayaan publik dan pandangan politik membentuk perilaku konsumen dan mempengaruhi pembelian merek (brand) di Indonesia.

        Hal ini dijelaskan dalam edisi perdana 2024 Edelman Trust Barometer Special Report: Brands and Politics Edisi Indonesia.

        Temuan ini didasarkan pada survei terhadap 1.000 responden di 34 provinsi di Indonesia, sebagai bagian dari studi yang lebih besar yang melibatkan lebih dari 15.000 responden di 15 negara, yang menyoroti tren perilaku konsumen unltuk mendukung, membeli, atau bahkan menghindari suatu merek berdasarkan pandangan politik dan nilai sosial tertentu yang dianut oleh merek serta sikap merek terhadap isu sosial.

        Menurut survei yang dilakukan pada April 2024, 81% responden Indonesia menyatakan khawatir terhadap hasil pemilihan umum (pemilu). Kekhawatiran ini juga tercermin dalam cara mereka memandang merek sehari-hari – merek yang dianggap memiliki pandangan politik atau yang tidak mengambil sikap jelas berisiko dihindari atau diboikot.

        “Pada tahun 2024, kita dihadapkan pada dinamika politik seperti pemilu dan konflik geopolitik global yang mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap brand. Temuan kami menunjukkan bahwa mayoritas konsumen di Indonesia mengekspresikan pandangan politik mereka melalui pilihan brand atau produk, menunjukkan adanya polarisasi dalam perilaku konsumen yang perlu diperhatikan oleh setiap brand,” kata Nia Pratiwi, Managing Director Edelman di Indonesia.

        Perubahan ini pun mengakibatkan adanya peningkatan pada nasionalisme merek (brand nationalism), sebuah kondisi saat konsumen lebih memilih merek dan produk berdasarkan negara asal dari brand tersebut. Laporan yang sama menunjukkan bahwa 73% responden Indonesia kini lebih sering membeli merek lokal dibandingkan setahun yang lalu, dan 58% memboikot merek yang mendukung salah satu pihak dalam konflik Israel-Hamas.

        Mengingat pilihan merek turut mendefinisikan identitas sosial seseorang, laporan tersebut juga mencatat bahwa generasi muda (usia 18-34) merasa terhubung dengan orang lain yang menggunakan merek yang sama (69%) dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih senior (usia 35-54) sebesar 58%. Selain itu, hampir setengah (49%) dari responden muda ini mengaku bahwa mereka menilai orang lain berdasarkan pilihan mereknya.

        Dengan dinamika perilaku konsumen ini, jelas bahwa publik di Indonesia menuntut brand untuk mengambil sikap pada isu kontroversial atau politis saat berada di bawah tekanan (64%). Kemudian, karena orang percaya pada kekuatan brand untuk berkontribusi lebih banyak bagi agenda publik, bukan lebih sedikit, responden mengharapkan brand untuk melakukan lebih banyak dalam isu seperti perubahan iklim (33%), upah yang adil (28%), dan pelatihan ulang (retraining) tenaga kerja (26%). Sementara itu, ketika sebuah brand tidak mengkomunikasikan tindakannya dalam menangani isu-isu sosial, 55% responden Indonesia menganggap merek tersebut tidak melakukan apa-apa atau menyembunyikan sesuatu.

        “Konsumen kini secara dekat memperhatikan setiap keputusan yang dibuat oleh brand, yang kini memberikan implikasi politik yang lebih besar daripada sebelumnya. Temuan kami mengungkapkan bahwa tindakan paling sederhana oleh sebuah merek sekalipun, seperti pemilihan influencer dan perekrutan karyawan yang beragam, juga dapat dianggap sebagai pernyataan politik,” lanjut Nia. “Brand yang memilih untuk tetap diam pada isu sosial dan politik yang mendesak, atau yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang menuntut transparansi dan advokasi oleh brand, dianggap sebagai bagian dari masalah dan berisiko kehilangan kepercayaan konsumen.”

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Sufri Yuliardi
        Editor: Sufri Yuliardi

        Bagikan Artikel: