Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Kabinet yang Gemuk

        Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Kabinet yang Gemuk Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kritik terhadap gemuknya Kabinet Presiden Prabowo Subianto relatif tidak terdengar setelah para menteri dan wakilnya diumumkan dan dilantik. Berbeda dengan sebelum pengumuman dan pelantikan, banyak pengamat, kalangan politisi, dan masyarakat umum yang khawatir, gemuknya kabinet akan menghambat efektivitas pemerintahan karena jenjang birokrasi menjadi berlapis. Jumlah kementerian yang bertambah juga akan menyulitkan komunikasi dan koordinasi. Bagi pemerintah daerah, kompleksitas itu juga akan menghambat implementasi kebijakan karena harus berkoordinasi dengan banyak pintu.

        Kekhawatiran lain, banyaknya kementerian dianggap sebagai bentuk akomodasi Presiden Terpilih bagi pihak-pihak yang telah membantunya ke kursi presiden. Kekhawatiran demikian sebenarnya merupakan anggapan rutin ketika presiden baru mempersiapkan kabinetnya. Kini giliran Presiden Prabowo yang menjadi perhatian. Sejauh ini susunan Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo tidak terlalu dipergunjingkan asal muasal dan kapabilitasnya.

        Tambah Kementerian

        Seperti diketahui, beberapa hari sebelum Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dilantik, beredar kabar jumlah kementerian akan bertambah dari 34 kementerian di era Presiden Joko Widodo menjadi 44 hingga 46 kementerian seperti disampaikan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad ke sejumlah media. Jumlah itu masih akan berubah karena jumlah pastinya tergantung Presiden Terpilih yang memiliki hak prerogatif untuk menyusun kabinet dan memilih para anggotanya.

        Jumlah kementerian sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 15 UU itu menyebutkan, jumlah kementerian paling banyak 34 kementerian. Tentu Presiden Prabowo melihat ada kebutuhan untuk menambah jumlah kementerian itu. Di sinilah tampak bahwa Prabowo yang terpilih menjadi Presiden RI ke-8 tatkala masih menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Presiden Joko Widodo, memiliki hubungan yang baik dengan Presiden Jokowi. Demikian juga Presiden Jokowi tidak menjaga jarak dengan Presiden Terpilih yang akan menggantikannya sehingga kedua pihak bisa berkomunikasi dengan sangat baik. Relasi seperti ini sebaiknya menjadi benchmark di masa depan agar proses peralihan kursi Presiden berjalan mulus dan jalannya pembangunan tidak terganggu oleh masa adaptasi presiden baru yang memakan waktu.

        Di sisi lain, Prabowo yang adalah Ketua Umum Partai Gerindra juga sepertinya menekankan pada kadernya di DPR RI agar menjalin komunikasi yang baik dengan para kader partai lain di DPR yang mendukungnya jadi Presiden dalam menggolkan kebutuhan tambahan jumlah menteri melalui revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Bulan Juni 2024, DPR berinisiatif merevisi UU itu dan disetujui oleh Presiden Jokowi hanya beberapa hari menjelang akhir masa tugasnya. Pada 15 Oktober 2024 Presiden Jokowi menandatangani UU No. 61 Tahun 2024 tentangĀ  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 15 diubah sehingga jumlah kementerian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.

        Tentu bahwa pada akhirnya Presiden Prabowo menentapkan jumlah kementerian sebanyak 48 kementerian, memang kebutuhannya sebanyak itu menurut perhitungan Presiden. Hal ini harus kita hormati dan kita dukung.

        Harus Kompak

        Hal yang menarik adalah bahwa problem utama dari banyaknya kementerian adalah masalah menjaga hubungan baik di antara Presiden dengan para menteri dan para wakil menteri. Jumlah besar tidak berarti masalah komunikasi dan koordinasi akan berjalan buruk yang akan mengganggu sistem administrasi negara. Demikian juga, kabinet yang ringkas tidak menjamin komunikasi dan koordinasi menjadi lancar. Pada periode sebelumnya kita kerap mendengar dan menyaksikan ada beda pendapat dari beberapa menteri dalam hal-hal tertentu yang terekspos ke publik yang mengindikasikan komunikasi dan koordinasi tidak berjalan mulus. Komunikasi yang lancar di kabinet penting untuk menjaga trust masyarakat terhadap pemerintah bahwa mereka satu tujuan dan good governance terjaga dengan baik. Ketidakpercayaan masyarakat bisa memancing isu-isu kontra produktif yang akan mengganggu jalannya pemerintahan.

        Saya sendiri merasa senang di awal masa tugasnya Presiden Prabowo melakukan langkah yang tidak biasa untuk menjaga kekompakan. Presiden membawa seluruh anggota kabinetnya untuk pergi ke Magelang mengikuti program Pembekalan Kabinet Merah Putih di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Tidak hanya soal materi pembekalan yang sifatnya ilmu pengetahuan dan menjalin koordinasi untuk membentuk tim yang solid, di sana para menteri juga kompak belajar baris-berbaris, termasuk Presiden ikut berbaris. Apakah belajar baris-berbaris hal yang sepele?

        Tentu kita paham, hal ini karena Presiden Prabowo berlatar belakang militer. Dan tentu Presiden sangat memahami filosofi dan manfaat baris-berbaris yang kompak dalam militer. Seperti disebutkan pada Pasal 1 Peraturan Panglima TNI No. 46 Tahun 2014 tentang Peraturan Baris Berbaris Tentara Nasional Indonesia, bahwa baris-berbaris yang diwujudkan dalam bentuk latihan fisik, diperlukan guna menanamkan kebiasaan dan jiwa korsa dalam kehidupan militer yang diarahkan kepada terbentuknya suatu sikap prajurit berkarakter dan jasmani yang tegap, tangkas, menumbuhkan disiplin, loyalitas tinggi, kebersamaan dan rasa tanggung jawab sehingga senantiasa mengutamakan kepentingan tugas di atas kepentingan individu. Tujuan tersebut seharusnya bisa diperoleh dengan latihan baris-berbaris anggota kabinet.

        Hasilnya, meskipun masih terlalu prematur untuk dianalisis karena pemerintahan baru berjalan sebulan, kekompakan Kabinet Merah Putih tampaknya terpelihara. Sejak kepulangan dari pembekalan di Magelang itu, suara-suara miring tentang kabinet relatif kecil. Menterinya relatif tidak menyampaikan hal-hal yang kontroversial.

        Presiden Prabowo sendiri terus mengingatkan para menterinya agar tetap kompak, menjaga kepercayaan masyarakat, dan mengutamakan kepentingan negara. Salah satunya dengan imbauan agar menteri memanfaatkan APBN dengan efektif. Ketika mengikuti deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) pada 2 November 2024, saya mendengar langsung Presiden Prabowo mengimbau para menterinya di Kabinet Merah Putih untuk tidak banyak menggunakan APBN untuk bepergian ke luar negeri maupun studi banding. Presiden meyakini bahwa para menterinya sudah mengetahui permasalahan di kementeriannya sehingga tidak perlu melakukan studi banding yang hanya menghabiskan anggaran.

        Peringatan lain yang cukup menarik, disampaikannya ketika akan melakukan lawatan pertamanya ke luar negeri yang antara lain untuk menghadiri KTT APEC di Peru (13-17 November 2024) dan G20 di Brazil (14-16 November 2024). Pada Sidang Kabinet 6 November 2024, Presiden mengingatkan bahwa jika ada kendala yang tidak terpecahkan oleh para menterinya agar mereka tidak segan-segan untuk meneleponnya. Namun jika kendala tersebut berupa hal yang rawan, tidak boleh disampaikan melalui telepon.

        Kita mafhum bahwa saat ini, di mana komunikasi bisa dilakukan dalam perangkat teknologi yang makin canggih, selain kemudahan yang didapat juga ada kerawanan. Bisa dibayangkan jika hal-hal yang rawan dikemukakan melalui telepon lalu bocor ke publik, bisa menimbulkan salah tafsir yang beragam yang bisa menyebabkan kegaduhan yang mencederai kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

        Pertanyaan yang menggelitik, apakah ke depannya Kabinet Merah Putih dengan 48 kementerian itu bisa terus kompak? Tentu ini tantangan besar. Dari 48 kementerian itu terdapat 56 orang wakil menteri karena ada menteri yang memiliki wakil menteri sebanyak dua orang. Selain itu ada lima kepala badan sehingga jumlah anggota Kabinet Merah Putih 109 orang. Bisakah mereka tetap kompak? Jawabannya tergantung pada efektivitas komunikasi dan koordinasi.

        Dalam ilmu administrasi publik, komunikasi merupakan faktor krusial untuk mencapai fungsi yang efektif dan ekonomis dari keseluruhan sistem administrasi publik. Saat ini media komunikasi sangat beragam dan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi hal krusial dan suatu keniscayaan. Oleh karena itu kualitas komunikasi administrasi publik dipengaruhi secara signifikan oleh TIK yang makin modern.

        Penggunaan TIK juga bisa membuat layanan publik lebih efektif dan efisien karena bisa menghemat waktu dan biaya. Kekhawatiran bahwa jumlah kementerian yang mencapai 48 kementerian itu akan menghambat efektivitas pemerintahan karena komunikasi dan koordinasinya tidak efektif, seyogyanya bisa diatasi dengan sistem komunikasi berbasis TIK yang lebih baik, lebih maju, dan aman. Dampaknya, pelayanan publik juga akan lebih efisien dan menguntungkan masyarakat.

        Sejauh ini prinsip-prinsip tersebut terjaga dengan baik oleh Presiden Prabowo. Riak-riak kontra terhadap kebijakan Presiden Prabowo sejauh ini relatif terkendali. Tentu saja, sebaik apa pun sistem pemerintahan yang dibangun seorang Presiden, jika tidak didukung oleh seluruh komponen bangsa, lama-lama akan goyah juga. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak. Jika ada kritik yang konstruktif, kita sampaikan dengan cara yang baik dan berakhlak. Kritik dibutuhkan untuk menyempurnakan hal-hal yang belum optimal. Kita butuh kritik untuk perbaikan dan sebagai wahana untuk menguatkan persatuan dan kolaborasi guna mencapai visi Indonesia Maju seperti tujuan pendirian GSN yang dideklarasikan Presiden Prabowo awal November 2024. Tabik.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: