Pada tanggal 30 dan 31 Oktober 2021, Roma menjadi tuan rumah KTT Kepala Negara dan Pemerintahan G20. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tersebut menghasilkan teks deklarasi dari para pemimpin negara berisi tentang isu global yang menggambarkan perekonomian dunia termasuk tindakan bersama yang dapat dilakukan negara anggota G20. Salah satu kesepakatan penting yang dihasilkan adalah bagaimana mengatasi tantangan di bidang perpajakan berkenaan dengan dampak dari digitalisasi dan globalisasi ekonomi.
Ekonomi digital telah membawa banyak manfaat bagi masyarakat dan perusahaan. Namun pada saat yang sama, muncul tantangan yang semakin besar bagi sistem perpajakan yang ada. Pesatnya perkembangan teknologi digital memudahkan perusahaan multinasional beroperasi secara lintas negara dan memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang signifikan tanpa harus hadir secara fisik di negara pasar.
Salah satu tantangan utama bagi pajak internasional adalah mengatasi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, yang mengalihkan keuntungan mereka ke negara dengan tarif pajak rendah. Ekonomi digital membuat praktik ini semakin sulit untuk dipantau dan dikendalikan. Aturan saat ini yang mengatur masalah perpajakan internasional dirancang untuk diterapkan pada bisnis dengan kehadiran fisik di suatu negara. Oleh karena itu, peraturan perpajakan perlu diperbarui secara memadai.
Selain permasalahan pesatnya perkembangan teknologi digital dalam bisnis, globalisasi telah menyebabkan perlombaan untuk mencapai titik terendah (race to the bottom) dalam perpajakan. "Race to the bottom" dalam konteks perpajakan merujuk pada persaingan antar negara atau wilayah yang menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif pajak yang semakin rendah dengan tujuan menarik investor dan perusahaan untuk berinvestasi di wilayah mereka. Fenomena ini terjadi karena negara-negara ingin menjadi tujuan investasi yang lebih menarik dibandingkan dengan negara lain. Hal ini dapat menimbulkan persaingan tidak sehat yang telah melewati batas-batas etika dan dapat merusak pihak-pihak yang terlibat.
Sehubungan hal tersebut, dalam pembahasan G20 disepakati dukungan atas dua pilar reformasi pajak internasional, yaitu (1) negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan dan (2) pengenaan tarif pajak minimum global (global minimum tax) sebesar 15%. Dengan adanya perjanjian itu, perusahaan multinasional raksasa yang melakukan strategi selama ini memarkir labanya di negara-negara berpajak rendah, menjadi tidak relevan lagi.
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah tengah menyiapkan rancangan peraturan mengenai global minimum tax sebesar 15% sebagai pajak minimal yang harus dibayarkan perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki penghasilan lebih dari 750 miliar euro atau setara dengan Rp 12,7 triliun dalam satu tahun fiskal. Jika suatu korporasi masuk ke dalam kriteria Effective Tax Rate (ETR)/tarif efektif pajaknya di bawah 15% oleh suatu yurisdiksi, maka atas selisihnya akan dikenakan Top Up Tax oleh negara tempat Ulltimate Parent Entity (UPE) berada sebagaimana ketentuan income inclusion rule/IIR (penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili).
Dalam hal negara domisili parent entity tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya, selisih akan dikenakan oleh negara domisili tempat intermediate parrent company (IPE) atau kepada anak usaha lainnya berdasarkan ketentuan Undertaxed Payment Rule (UTPR). Namun selisih tersebut dapat dipungut oleh negara sumber yang sepanjang menerapkan Qualified Domestic Minimum Top Up Tax (QDMTT) atau instrumen pajak minimum domestik.
Bagi negara berkembang dengan skema pajak minimum domestik atau qualified domestic minimum tax (QDMT) dapat mengamankan penerimaan pajaknya meski tarif efektif PPh badan di bawah 15%. Melalui QDMT, Indonesia dapat terlebih dahulu mengenakan top up tax sebelum negara asal korporasi mengutip pajak dengan skema tersebut. Dengan demikian, tak ada penerimaan yang lari ke negara lain.
Baca Juga: Mau Nikmati Fasilitas Pajak IKN? Yuk Simak Syarat dan Ketentuannya
Dampak penerapan Global Minimum Tax terhadap kebijakan Insentif Perpajakan
Dampak dari penerapan global minimum tax (GMT) terhadap insentif perpajakan dapat sangat beragam, tergantung pada bagaimana kebijakan ini diimplementasikan oleh negara-negara. Secara umum, beberapa dampak yang dapat terjadi pada insentif atau fasilitas perpajakan adalah:
- Negara-negara yang sebelumnya mengandalkan tarif pajak yang sangat rendah atau penghindaran pajak mungkin akan kehilangan daya tarik tersebut. Salah satu tujuan utama dari penerapan GMT adalah untuk mengurangi persaingan pajak antar negara agar tidak tercipta perlombaan menuju titik terendah (race to the bottom).
- Negara-negara dengan fasilitas pajak khusus (seperti zona ekonomi bebas pajak) mungkin perlu menyesuaikan aturan mereka agar tidak bertentangan dengan prinsip GMT, yang dapat menyebabkan penurunan insentif pajak. Negara-negara dengan tarif pajak rendah, atau yang menawarkan fasilitas pajak khusus untuk perusahaan multinasional, akan terpaksa menyesuaikan kebijakan pajak mereka agar memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh GMT.
- Fasilitas yang dirancang untuk menghindari pajak internasional (seperti struktur perusahaan di negara tax haven) akan kehilangan daya tariknya, karena tarif pajak minimum global akan diberlakukan.
- Negara-negara yang memiliki fasilitas perpajakan khusus atau pengurangan pajak untuk menarik investasi asing seperti tax holiday atau tax allowance akan menghadapi dampak dari GMT. Insentif pajak tersebut berpengaruh mengurangi tingkat pajak efektif (ETR) perusahaan multinasional (MNE) di bawah 15%, sehingga dapat dikenakan pajak tambahan. Dalam rangka penerapan ketentuan tersebut, dan mengantisipasi dampak dari income inclusion rule/IIR, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2024 (PMK-69/2024) yang mengubah peraturan sebelumnya terkait pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday) dengan penambahan klausul pengaturan untuk mengantisipasi penerapan kebijakan pajak minimum global bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pemanfaatan fasilitas tax holiday yang masih berlaku baik sebelum maupun sesudah berlakunya PMK-69/2024 tersebut dan termasuk dalam ruang lingkup Wajib Pajak tertentu dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengenaan pajak minimum global terhadap grup perusahaan multinasional di Indonesia, akan dikenai pajak tambahan minimum domestik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
- Adanya tarif pajak minimum global, fasilitas perpajakan yang sebelumnya dianggap sangat menguntungkan bagi investor luar negeri seperti tax holiday atau tax allowance menjadi kurang relevan karena akan mengurangi tingkat pajak efektif (ETR) perusahaan multinasional (MNE) di bawah 15%. Beberapa negara mungkin perlu meningkatkan kualitas fasilitas perpajakan mereka, misalnya dengan menawarkan insentif pajak yang lebih berbasis pada inovasi atau investasi dalam sektor tertentu (misalnya teknologi, riset, atau infrastruktur), alih-alih mengandalkan pengurangan pajak secara umum.
- Negara yang mengandalkan pengurangan pajak untuk menarik investasi mungkin harus menyesuaikan tawaran mereka agar tetap kompetitif, misalnya dengan menambah program-program non-fiskal (seperti pelatihan tenaga kerja atau kemudahan administratif).
- Negara-negara mungkin perlu mengubah prosedur administratif mereka untuk memastikan bahwa fasilitas perpajakan yang ditawarkan tidak melanggar ketentuan GMT.
- Fasilitas seperti "tax rulings" (keputusan pajak administratif yang memberikan kejelasan tentang perlakuan pajak suatu transaksi atau struktur perusahaan) bisa terpengaruh, karena mereka harus memastikan bahwa pajak yang dibayar sesuai dengan standar global minimum yang berlaku.
- Negara berkembang mungkin harus mengurangi ketergantungan pada insentif pajak besar atau tax holiday, dan beralih ke jenis fasilitas pajak yang lebih berfokus pada pembangunan sektor-sektor ekonomi tertentu.
- Negara-negara berkembang yang memiliki basis pajak lemah dapat merasa terbebani oleh biaya administrasi dan implementasi peraturan GMT
- Pengurangan struktur pajak yang terlalu rumit dapat mempengaruhi cara negara-negara menyusun insentif pajak mereka. Negara-negara yang memiliki sistem perpajakan yang rumit dan banyak pengecualian pajak mungkin perlu menyesuaikan kebijakan mereka agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip GMT.
- Negara-negara mungkin lebih fokus pada jenis insentif yang lebih langsung dan jelas, seperti kredit pajak untuk kegiatan riset dan pengembangan, ketimbang menggunakan mekanisme yang memungkinkan penghindaran pajak global.
Baca Juga: Kemenkeu Kejar Pajak Ekonomi Bawah Tanah
Secara keseluruhan, global minimum tax akan mempengaruhi insentif perpajakan dengan memperkecil ruang bagi negara-negara untuk menawarkan insentif pajak yang terlalu besar atau terlalu menguntungkan, terutama bagi perusahaan multinasional.
Negara-negara mungkin harus menyesuaikan kebijakan perpajakan mereka, mengurangi ketergantungan pada penghindaran pajak internasional, dan meningkatkan transparansi serta keadilan dalam sistem perpajakan mereka.
Sementara itu, negara-negara berkembang mungkin harus menyesuaikan strategi untuk tetap menarik investasi tanpa melanggar prinsip-prinsip Global Minimum Tax. Indonesia perlu mempertimbangkan kembali desain insentif pajaknya dengan hati-hati sehubungan dengan pajak minimum global. Hal ini mungkin melibatkan keseimbangan antara kebutuhan untuk tetap kompetitif dengan persyaratan untuk mematuhi aturan pajak internasional yang baru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: