Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Kondisi ekonomi lokal yang melemah ditambah ketidakpastian global semakin membebani sektor padat karya, termasuk industri hasil tembakau (IHT). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal I-2025, sektor pengolahan tembakau mengalami penurunan pertumbuhan hingga -3,77% (yoy), berbanding terbalik dengan capaian positif 7,63% di periode yang sama tahun sebelumnya. Situasi ini memicu desakan kepada pemerintah untuk menunda kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun mendatang (moratorium).
Sudarto AS, Ketua Umum FSP RTMM SPSI, menekankan bahwa pembekuan kenaikan CHT diperlukan guna melindungi industri strategis ini, mengingat kontribusinya dalam menyerap tenaga kerja dan menghidupkan berbagai sektor terkait. Industri tembakau tidak hanya melibatkan produsen, tetapi juga petani, peritel, dan berbagai usaha pendukung yang membentuk mata rantai ekonomi panjang. Tanpa insentif seperti moratorium, ancaman terhadap lapangan kerja dan stabilitas sektor ini kian mengkhawatirkan.
Menurutnya, kebijakan fiskal yang terlalu agresif, khususnya dalam bentuk kenaikan cukai, telah berdampak langsung pada kinerja industri padat karya dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini.
"Di situasi ekonomi yang stagnan bahkan melemah dan PHK besar-besaran, otomatis daya beli ikut stagnan, bahkan menurun, harga rokok sudah tinggi dan mahal, serta peredaran rokok ilegal meningkat," jelas Sudarto.
Sudarto menekankan bahwa kebijakan fiskal yang tidak tepat dapat berdampak pada IHT sebagai sektor padat karya strategis, khususnya berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja dan keberlangsungan industri domestik. Maka dari itu, ia menyerukan pengkajian deregulasi dan revitalisasi kebijakan untuk sektor ini.
"Perlu dilakukan deregulasi dan revitalisasi, khususnya untuk industri padat karya,” tegasnya.
Baca Juga: Titip ke Dirjen Bea Cukai yang Baru, GAPPRI Sebut Ada Tujuh Tantangan Industri Hasil Tembakau
Sudarto juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam memberikan perlindungan kepada pekerja sektor makanan, minuman, dan tembakau. Salah satu contohnya adalah tidak dimasukkannya pekerja sektor ini dalam skema insentif pajak PPh 21 padat karya seperti tertuang dalam PMK No.10/2025.
“Kebijakannya tidak konsisten dan berubah-ubah, bahkan PMK No. 10/2025 terkait insentif PPh 21, pekerja mamin dan tembakau didiskriminasi, tidak termasuk pekerja padat karya yang mendapatkan insentif,” ungkapnya.
FSP RTMM-SPSI meyakini, jika tidak ada kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan, maka IHT dapat menjadi salah satu pendorong pemulihan ekonomi nasional. “IHT adalah industri padat karya, dan dominan menggunakan bahan baku Indonesia, tentunya sektor ini akan sangat membantu pemulihan ekonomi nasional,” kata Sudarto.
Sejalan dengan seruan serikat pekerja, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menilai bahwa perlindungan terhadap industri padat karya seperti IHT harus disertai dengan kebijakan yang tepat sasaran dan konsisten.
“Efisiensi anggaran yang kontraktif seharusnya diimbangi dengan realokasi dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif dan berdampak pada ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Ahmad juga menyoroti pentingnya menjaga daya saing dan kepastian pasar bagi IHT, karena hal ini menjadi kunci untuk mendorong aktivitas bisnis, menjaga lapangan kerja, dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: