Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        AToN INA-24 Jadi Cermin Pentingnya Pengawasan Ketat Proyek Strategis Nasional

        AToN INA-24 Jadi Cermin Pentingnya Pengawasan Ketat Proyek Strategis Nasional Kredit Foto: WE
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Proyek Aids to Navigation (AToN) berkode INA-24, yang awalnya digadang sebagai terobosan untuk memperkuat keselamatan pelayaran nasional, justru berubah menjadi potret buruknya perencanaan dan lemahnya pengawasan pemerintah.

        Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai masalah ini tidak semata berada di Kementerian Perhubungan sebagai pelaksana, melainkan bermula sejak tahap perencanaan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

        "Proyek ini justru terhenti di tengah jalan. Bagi publik, kesalahan seolah ada di Kementerian Perhubungan selaku pelaksana. Padahal, jika ditarik ke hulu, akar persoalan ini justru bermula di meja perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)," ujar Iskandar, Sabtu (9/8/2025). 

        INA-24 dibiayai melalui pinjaman lunak 97,1 juta dolar AS dari Economic Development Cooperation Fund (EDCF) Korea Selatan, dengan bunga hanya 0,15 persen per tahun, tenor hingga 40 tahun, serta masa tenggang sepuluh tahun. Di atas kertas, skema itu tampak menguntungkan, namun implementasinya jauh dari harapan.

        Prosesnya dimulai pada 2016 saat pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, menandatangani perjanjian pinjaman dengan Korea. Sebelumnya, Bappenas menetapkan proyek ini ke dalam daftar Blue Book, proyek prioritas yang dapat mencari pendanaan luar negeri, lalu mengubah statusnya ke Green Book, yang menandakan siap dibiayai.

        Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, proyek yang masuk Green Book harus lolos kajian kelayakan teknis, finansial, sosial, dan kelembagaan, termasuk evaluasi kemampuan pelaksana. Namun, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 2022 menunjukkan bahwa Feasibility Study INA-24 tidak mencantumkan analisis kemampuan pelaksana.

        "Artinya, sejak awal Bappenas telah memberikan stempel 'siap jalan' tanpa memastikan bahwa Kemenhub benar-benar memiliki kesiapan sumber daya, kelembagaan, dan teknis untuk melaksanakannya. Fatal bukan? Pantas Kemenhub jadi kelimpungan. Korea jadi kebingungan. Makelar Korea-Indonesia jadi berantakan," beber Iskandar.

        Sejak perjanjian ditandatangani, progres fisik proyek hampir tidak bergerak. Tender pun berkali-kali gagal. Sementara itu, Pasal 19 UU Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan Bappenas melaporkan perkembangan proyek kepada DPR setiap tiga bulan sekali.

        "Faktanya, laporan itu tidak pernah muncul. Tidak ada catatan resmi yang menunjukkan Bappenas memberi peringatan atau teguran kepada Kementerian Perhubungan meski keterlambatan sudah jelas terjadi. Bahkan ketika BPK mencatat bahwa proyek ini stagnan, respons Bappenas nyaris tak terdengar," ungkap Iskandar.

        Ia mengingatkan bahwa di bawah Perpres Nomor 66 Tahun 2015 maupun Perpres Nomor 195 Tahun 2024, Bappenas tetap wajib merencanakan, mengawal, dan mengevaluasi proyek pinjaman luar negeri. Ketentuan ini juga diperkuat UU Nomor 25 Tahun 2004 yang mengharuskan rencana selaras RPJMN, serta UU Nomor 1 Tahun 2022 yang mengamanatkan koordinasi pengawasan bersama BPKP.

        "Dengan kata lain, Bappenas tidak bisa berkilah bahwa pengawasan hanyalah tugas pelaksana! Sebagai inisiator dan pengawal proyek, mereka bertanggung jawab penuh dari tahap perencanaan hingga hasil akhir!" tegasnya.

        Menurut Iskandar, ada tiga pelanggaran yang dilakukan Bappenas dalam kasus ini. Pertama, maladministrasi karena menyetujui proyek tanpa verifikasi memadai, yang melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014. Kedua, kelalaian pengawasan akibat tidak melaporkan perkembangan proyek ke DPR, melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003. Ketiga, potensi kerugian negara dari risiko penalti dan pembayaran bunga tanpa manfaat, yang terkait Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

        "Pola kelalaian ini juga pernah dicatat Ombudsman RI dalam kasus proyek JICA tahun 2020, di mana feasibility study disetujui tanpa verifikasi mendalam, lalu proyek mandek di eksekusi," katanya.

        Fenomena serupa, lanjut Iskandar, juga terjadi pada proyek modernisasi pelabuhan tahun 2012 dengan pinjaman EDCF senilai 80 juta dolar AS yang gagal total akibat lahan tidak siap, serta proyek Sistem Informasi Transportasi 2018 senilai 60 juta dolar AS yang tertunda lantaran tender diulang tiga kali.

        "Semua kasus ini memiliki benang merah, yaitu, proyek sudah lolos Green Book, tapi pelaksana tidak siap, dan Bappenas tidak mengintervensi tepat waktu. Bappenas selalu lepas tanggungjawab!" ucapnya.

        IAW pun mengajukan empat rekomendasi: audit BPK terhadap dokumen persetujuan Bappenas untuk INA-24, pelaporan ke Ombudsman terkait dugaan maladministrasi, judicial review PP Nomor 10 Tahun 2011 untuk mewajibkan publikasi laporan kemajuan proyek utang, serta hearing DPR yang memanggil Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan.

        "Proyek INA-24 seharusnya menjadi simbol kerja sama internasional yang produktif. Alih-alih, ia menjadi bukti bahwa kelalaian di tahap perencanaan dan pengawasan Bappenas mengorbankan uang rakyat. Utang tetap harus dibayar sesuai jadwal, tapi manfaat proyek belum dapat dirasakan masyarakat dan dunia pelayaran," kata Iskandar.

        Dalam perspektif negara hukum, Iskandar menilai kegagalan seperti ini tidak boleh dibiarkan menjadi kebiasaan. Ia menilai Bappenas memegang peran penting sebagai penjaga gerbang agar utang luar negeri benar-benar menghasilkan manfaat.

        "Ketika gerbang itu dibuka tanpa penjagaan, yang masuk bukan kemajuan, melainkan beban yang akan ditanggung generasi berikutnya!," pungkasnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: