Kredit Foto: Dok. KKP
Polemik tambang nikel di Raja Ampat kembali mencuat setelah sejumlah perusahaan terbukti melanggar prosedur dan merusak sebagian wilayah pulau kecil di kawasan yang 97% areanya merupakan konservasi. Kerusakan lingkungan ini memicu kritik terhadap lemahnya pengawasan pemerintah.
Pakar Komunikasi Strategis UGM, I Gusti Ngurah Putra, menilai gaya komunikasi pemerintah masih perlu diperbaiki, terutama dalam penyampaian informasi khususnya terkait dengan kebijakan terbaru kepada masyarakat.
“Aspek inilah yang dalam beberapa tahun terakhir masih menjadi masalah. Pasalnya, sejumlah kebijakan tidak disampaikan secara informatif dan terstruktur, hingga menimbulkan asumsi dan menurunkan akuntabilitas pemerintah di mata publik,” ujarnya dalam Diskoma #22 bertajuk “Komunikasi Krisis: Kasus Tambang Nikel Raja Ampat” yang dikutip Rabu (13/8).
Ngurah menyebut komunikasi krisis pemerintah dalam kasus ini inkonsisten, padahal Raja Ampat merupakan kawasan strategis baik dari sisi ekologi maupun pariwisata. “Kalau pemerintah tidak tegas, citra kita bisa runtuh. Komunikasi krisis bukan sekadar strategi publikasi, tapi soal arah politik pembangunan itu sendiri,” tegasnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Pariwisata RI bidang Komunikasi dan Media, Apni Jaya Putra, mengungkap Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengklasifikasikan kasus ini sebagai medium crisis berdasarkan Crisis Detection Analysis.
Penilaian itu dipicu kerusakan ekosistem, konflik perizinan, reaksi masyarakat adat, dan sorotan media internasional
Baca Juga: Presiden Minta KLH Lakukan Pengawasan Ketat Pada Pertambangan di Raja Ampat
“Masalah ini bukan cuma tentang lingkungan. Ini tentang reputasi Indonesia sebagai tujuan wisata, tentang bagaimana dunia melihat kita: apakah kita menjaga surga terakhir ini, atau justru mengorbankannya demi investasi jangka pendek,” kata Apni.
Ia menambahkan, strategi komunikasi krisis Kemenparekraf dibangun dengan prinsip acknowledge, explain, dan act, mengakui masalah secara terbuka, menjelaskan posisi dan tanggung jawab tiap pihak, serta mengajak publik berpartisipasi dalam solusi.
“Semua narasi, harus disampaikan dengan empati, konsistensi, dan berbasis data,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: