Cerita Sukses Raja Beton 'Pak Menlu', dari Pelajaran Bangkrut hingga Bangun Franchise Rabanton
Kredit Foto: Pecah Telur
Di balik nama yang unik, “Menlu”, tersimpan kisah perjuangan panjang seorang pengusaha Banyuwangi yang jatuh bangun dalam dunia bisnis. Setelah bangkrut di bisnis semen, ia justru menemukan jalan baru yang membawanya pada kesuksesan: membangun Rabanton, perusahaan beton pracetak yang kini kian dikenal di berbagai daerah.
Lahir di Situbondo dan besar di Banyuwangi, Menlu tumbuh dari keluarga sederhana. Orang tuanya bekerja sebagai nelayan, sementara dirinya sejak muda sudah terbiasa ikut membantu. Selepas dewasa, ia sempat terjun di bisnis ikan keluarga. Namun, bisnis itu dirasa tidak sesuai dengan panggilan hatinya.
Kesempatan datang ketika ia menjadi distributor semen dari paman yang memiliki pabrik. Meski sempat bersemangat, jalan tersebut justru menjadi masa tergelap dalam hidupnya. Persaingan harga, tempo pembayaran panjang, hingga risiko besar tanpa jaminan membuat bisnisnya jatuh. “Bukan hanya tanpa tabungan, saya justru terjerat utang miliaran,” kenangnya.
Di tengah keterpurukan, Menlu memilih bangkit. Dengan sisa dana seadanya, ia membeli lima cetakan beton. Dari cetakan sederhana itu, lahirlah produk perdana: yudit, box culvert, dan pagar beton.
“Kalau ini gagal, saya benar-benar tidak tahu harus apa lagi,” ujarnya. Berbekal semangat, doa, dan dukungan keluarga, ia mengerjakan produksi sendiri. Perlahan, usahanya mendapat perhatian. Pemerintah daerah memberi kesempatan proyek, dan dari situlah jalan Rabanton mulai terbuka.
Dilansir dari Channel Youtube Pecah Telur, nama Rabanton merupakan singkatan dari “Rajanya Banyuwangi Beton”, yang kemudian diplesetkan menjadi “Rajanya Barang Beton”. Meski terdengar sederhana, kiprah Rabanton justru semakin luas.
Produk-produk Rabanton menjawab kebutuhan infrastruktur: saluran drainase, pagar, hingga inovasi dermaga apung beton. Dermaga apung ini berbeda karena bisa terapung tanpa pondasi, mudah dipindahkan, namun tetap kokoh. Biayanya pun jauh lebih murah, hanya Rp10 juta per meter, dibanding dermaga konvensional yang bisa mencapai Rp30–50 juta per meter.
“Kita ini negara maritim. Dengan dermaga apung, akses laut bisa lebih murah dan efisien,” kata Menlu penuh semangat.
Menlu percaya, kesuksesan bukan soal menjadi yang paling besar, melainkan paling bermanfaat. “Saya ingin jadi semut yang ada di mana-mana, bukan gajah besar yang hanya berdiri di satu tempat,” tuturnya.
Itulah sebabnya ia memilih model bisnis franchise tanpa royalti. Rabanton mengajak pengusaha lokal di seluruh Indonesia untuk ikut memproduksi beton pracetak dengan standar yang sama. Ia menolak sekadar “jualan besar-besaran” dari pusat, karena percaya setiap daerah harus memiliki pengusaha lokal yang berdaya.
“Kalau untung, baru kita berbagi. Kalau belum ada hasil, tidak ada yang perlu dibagi,” tambahnya.
Bagi Menlu, keberhasilan bisnis tidak hanya diukur dari laba, melainkan juga kesejahteraan karyawan. Ia memastikan gaji minimal sesuai UMR, tidak pernah telat, dan selalu ada setiap Sabtu.
“Kalau saya tidak bisa menggaji sesuai UMR, artinya saya menyuruh orang hidup di bawah standar. Itu bisa mendorong mereka ke jalan yang salah. Saya tidak mau itu terjadi,” tegasnya.
Bagi Menlu, karyawan adalah keluarga besar. Tanggung jawab bukan hanya pada pekerja, tapi juga keluarganya. Filosofi inilah yang membuat Rabanton tetap bertahan bahkan saat badai bisnis melanda.
Kini, Rabanton bukan hanya pemain lokal. Permintaan datang dari berbagai daerah, bahkan hingga Bali dan Nganjuk. Visi besar Menlu adalah membangun jaringan Rabanton di seluruh Indonesia.
Baginya, infrastruktur beton adalah kunci kemajuan bangsa. Dari drainase, saluran air, hingga dermaga, semua butuh beton yang terukur dan tahan lama. “Kalau Indonesia mau maju, infrastruktur harus kuat. Dan jawabannya ya, beton,” ujarnya.
Kisah Menlu adalah potret nyata tentang kegigihan. Dari kegagalan besar di bisnis semen, ia bangkit, belajar, dan kini memimpin Rabanton dengan prinsip sederhana: membangun dengan hati, untuk masyarakat.
“Uang yang hilang itu uang sekolah saya,” katanya sambil tersenyum. “Kalau tidak pernah rugi, saya tidak akan pernah sampai di sini.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: