Blended Finance, Jurus Jitu Pemerintah Bangun Tanggul Laut Raksasa Jakarta
Kredit Foto: Istimewa
Pembiayaan campuran atau blended finance yang memadukan dana publik, swasta, dan investor global melalui instrumen keuangan inovatif, menjadi solusi jitu untuk membangun tanggul laut raksasa atau Jakarta Giant Sea Wall (GSW) dengan estimasi biaya yang mencapai USD 40–42 miliar. Pasalnya, angka sebesar itu mustahil ditanggung APBN sepenuhnya, mengingat ada prioritas lain pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur nasional.
Demikian yang dikatakan Peneliti Universitas Sebelas Maret dan Universitas Insan Pembangunan Indonesia, Dr. Anto Prabowo saat menyampaikan hasil penelitiannya yang berkolaborasi dengan peneliti dari UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School - University of Glasgow dalam acara The 2025 Sebelas Maret International Conference on Digital Economy (SMICDE) di Swiss-belhotel Solo, baru-baru ini.
Anto menegaskan bahwa GSW adalah proyek multidimensi yang hanya bisa berhasil dengan tata kelola kolaboratif. GSW tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Inovasi keuangan seperti Green Sukuk, Asset Value Protection, dan ABS menjadikan proyek ini bankable sekaligus inklusif.
Baca Juga: AHY Ungkap Pembicaraan Prabowo dengan Xi Jinping Soal Giant Sea Wall Hingga Kereta Cepat
"Namun, tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan regulator, investor tidak akan masuk. Transparansi, tata kelola ESG, dan safeguards sosial-lingkungan adalah syarat mutlak agar proyek ini tidak hanya besar, tetapi juga adil,” jelas Anto.
Lebih lanjut katanya, proyek sebesar ini menuntut tata kelola polisentris yang melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, OJK, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), serta Pemprov DKI Jakarta.
Proyek sebesar ini tidak lepas dari berbagai risiko. Misalnya risiko fiskal seperti pembengkakan biaya, dan beban Viability Gap Funding (VGF) yang berlebihan. Dari sisi investor seperti ketidakpastian regulasi, potensi elite capture, lemahnya governance. Lalu risiko lingkungan seperti kerusakan ekosistem laut, hilangnya biodiversitas, dan risiko sosial seperti relokasi komunitas pesisir tanpa kompensasi memadai dapat memicu konflik.
"Karena itu, safeguards sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral, bukan pelengkap. Relokasi berbasis hak, kompensasi yang adil, serta rehabilitasi mangrove wajib dijalankan secara transparan dan akuntabel," pungkasnya.
Jika berhasil, GSW diperkirakan dapat menciptakan peluang nilai ekonomi di mana nilai properti baru di kawasan reklamasi dan pesisir, diproyeksikan mencapai USD 20–25 miliar dalam 20 tahun.
Baca Juga: Rosan Bawa Kabar Soal Investasi Baterai, Kereta Cepat, dan Giant Sea Wall dari Tiongkok
Kemudian pusat bisnis dan industri baru yang dapat menarik investasi asing langsung (FDI), ratusan ribu lapangan kerja di sektor konstruksi, jasa, dan pariwisata, hingga efisiensi ekonomi dari pengurangan kerugian banjir, senilai USD 600 juta per tahun.
“GSW bukan hanya mencegah kerugian, tetapi menciptakan nilai ekonomi baru. Inilah logika asset value protection dan asset value creation yang harus berjalan beriringan,” ucap Anto.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: