Kredit Foto: KRAS
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menghadapi tekanan besar akibat keterbatasan modal kerja dan derasnya arus baja impor, terutama dari China. Hingga 30 Juni 2025, posisi modal kerja perusahaan tercatat negatif Rp27 triliun, dengan kas hanya Rp1 triliun dan utang mencapai Rp23,7 triliun.
Direktur Utama Krakatau Steel, Akbar Djohan, menegaskan penyediaan modal kerja menjadi kebutuhan mendesak agar perusahaan dapat mengoperasikan fasilitas produksi secara berkelanjutan.
Saat ini, Krakatau Steel Group memiliki kapasitas produksi 7,9 juta ton per tahun untuk berbagai produk baja, mulai dari hot rolled coil (HRC), cold rolled coil (CRC), pipa las, hingga profil konstruksi.
Baca Juga: Krakatau Steel Tembus Pasar Eropa, CRC Diekspor ke Spanyol
“Restrukturisasi keuangan dan penyediaan modal kerja menjadi kunci. Tanpa dukungan finansial, upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi tidak akan optimal,” ujar Akbar melalui keterangan resmi, Kamis (2/10/2025).
Menurut Akbar, pemerintah dan DPR diharapkan dapat mempercepat dukungan finansial guna memperkuat keberlangsungan Krakatau Steel. Dukungan tersebut tidak hanya menyelamatkan perusahaan, tetapi juga menjaga rantai pasok baja nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Baca Juga: Uni Eropa Pangkas Kuota Impor Baja, Naikkan Tarif Jadi 50%
Selain masalah internal, Krakatau Steel juga dibayangi tantangan eksternal berupa banjir baja impor murah dari China. Dalam tiga tahun terakhir, ekspor baja dari negara tersebut melonjak signifikan, dari 67 juta ton pada 2022, menjadi 90 juta ton pada 2023, dan mencapai 117 juta ton pada 2024. Sekitar 50 persen ekspor tersebut mengalir ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“Industri baja nasional tengah berada di persimpangan jalan. Regulasi dan kebijakan dari pemerintah serta dukungan dari DPR sangat krusial. Ini bukan hanya soal kepentingan satu perusahaan, tapi tentang menjaga kedaulatan industri strategis nasional,” ucap Akbar.
Ia menambahkan, produk baja impor saat ini bisa dijual lebih murah hingga 20–25 dolar AS per ton. Tanpa instrumen perlindungan seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Imbalan, maupun Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), produsen lokal akan kesulitan mempertahankan daya saing.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri