Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, telah memutuskan untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2026 mendatang.
Keputusan disampaikan Purbaya setelah melalui diskusi bersama Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) pada hari Jumat lalu (26/9).
"Saya sudah ketemu industri rokok GAPPRI antara lain dari Djarum, Gudang Garam dan Wismilak, kita masih diskusi macam-macam, mereka memberi masukan banyak sekali, cuma kelihatannya harus dipilah-pilah kembali masukannya karena cukup rumit. Saya minta mereka tulis masukannya kembali dan didiskusikan antar mereka supaya masukanya tidak menguntungkan satu dan merugikan yang lain." tutur Purbaya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.
Pada kesempatan tersebut, Purbaya memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai IHT disela candaan akan menurunkan tarif cukai apabila diminta industri.
“Apakah saya perlu merubah tarif cukai tahun 2026? Mereka bilang, asal tidak diubah sudah cukup. Sudah, tidak saya ubah. Tadinya saya pikir mau turunin.” ujar Purbaya.
Respon Asosiasi KeputusanMenkeu ini menuai respons positif dari para pelaku industri. Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto, mengatakan pentingnya kebijakan yang menjaga stabilitas ekonomi dibutuhkan untuk menjaga industri hasil tembakau (IHT) tetap bertahan.
"Kalau ekonomi macet, pajak naik, cukai naik, otomatis (ekonomi) kan tambah macet. Cukai kalau dinaikkan, pendapatan turun. Namun kalau diturunkan, pendapatan naik. Jadi dari segi fiskal, otomatis salah kebijakan selama ini,” ujar Heri saat dihubungi, Kamis (2/10).
Menurut Heri, kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tidak menaikkan CHT merupakan langkah yang tepat di tengah tingginya peredaran rokok ilegal.
Fenomena yang selama ini yang terjadi, semakin tinggi harga produk hasil tembakau, yang terjadi justru orang-orang memilih produk rokok ilegal yang jauh lebih murah. Situasi ini membawa kerugian bukan hanya bagi pelaku usaha, melainkan terhadap penerimaan negara.
Temuan Indodata Research Center menunjukkan fenomena peredaran rokok ilegal sepanjang 2024 meningkat menjadi 46 persen. Bahkan, keberadaan rokok ilegal yang terdiri dari rokok polos atau tanpa pita cukai, rokok palsu, salah peruntukan (saltuk) rokok bekas dan salah personalisasi mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar Rp97,81 triliun.
Heri menuturkan, pemberantasan rokok ilegal harus menjadi fokus utama. Tanpa adanya penegakan hukum yang serius, keberadaan rokok ilegal mengancam keberlangsungan usaha.
Jika perusahaan tembakau semakin tertekan dan berpotensi bangkrut, dampak ekonominya dalam jangka panjang juga akan mempengaruhi penerimaan negara.
"Saya berharap dengan Menteri baru ini, semuanya bisa jalan. Pasti, kalau kenaikan cukai itu pasti lah, tidak mungkin naik. Karena kalau naik, penerimaan negara turun. Kalau orang-orang itu sudah tidak setia dan rokok ilegal semua, negara hancur,” katanya.
Selain Formasi, di kesempatan yang berbeda, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengapresiasi rencana tidak adanya kenaikan tarif cukai rokok pada 2026 mendatang.
"Kami sangat mengapresiasi apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Bapak Purbaya mewacanakan untuk tidak ada kenaikan cukai dan mungkin juga HJE-nya penting sekali. Mudah- mudahan dengan tidak naiknya (tarif cukai rokok) ini, industri hasil tembakau bisa sedikit bernafas, menuju ke recovery,” kata Benny di Jakarta, Senin (29/9).
Sementara, dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan, belum memberikan respons terkait dengan keputusan pemerintah tidak menaikkan CHT untuk tahun depan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat