Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal memanggil sejumlah perusahaan otomotif untuk membahas rencana penerapan bahan bakar jenis bensin campuran etanol 10% atau E10.
Langkah ini dilakukan menyusul munculnya kekhawatiran publik bahwa negara tropis seperti Indonesia dinilai kurang cocok menggunakan E10, karena etanol bersifat higroskopis atau mudah menyerap air yang dapat memicu korosi pada mesin kendaraan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan pihaknya akan segera menggelar rapat bersama industri otomotif untuk memastikan kesiapan kendaraan nasional terhadap program tersebut.
Baca Juga: Bukan Sekadar Bahan Bakar, Etanol Jadi Simbol Revolusi Industri Energi Nasional
“Saya akan panggil industri otomotif. Kamis saya panggil industri otomotif, al-sintan, alat berat, tambang dan lain sebagainya,” kata Eniya di Jakarta, Selasa (15/10/2025).
Dalam pertemuan itu, Eniya ingin memastikan apakah spesifikasi mesin kendaraan yang beredar di Indonesia mampu menyesuaikan dengan campuran etanol 10%.
“Mesin-mesinnya seperti apa. Korosif atau nggak. Terus filternya diganti berapa. Atau karetnya persis seperti apa. Ini akan persis seperti biodiesel saya rasa,” ujarnya.
Eniya menjelaskan, penerapan E10 ditargetkan mulai dua hingga tiga tahun ke depan, dengan kebutuhan etanol mencapai 1,2 juta kiloliter (KL) untuk tahap awal di segmen non-PSO (bukan subsidi).
Baca Juga: BBM Etanol 10 Persen, Amankah untuk Mesin Mobil Modern? Begini kata Pengamat
"E10 diterapkan berarti kita perlu 1,2 juta kiloliter itu untuk E10 untuk non-PSO dulu. Jadi, non-PSO juga kita harapkan konsumsinya semakin tinggi karena kan sekarang trennya dari PSO sudah ke non-PSO,” ucap Eniya.
Menurutnya, proyek E10 juga akan mengoptimalkan limbah industri gula nasional, khususnya molases atau ampas hasil pengolahan tebu, sebagai bahan baku etanol.
“Selaras dengan pertumbuhan gula makin banyak, ampasnya juga makin banyak. Maka, ampasnya ini yang diconvert ke bioetanol sehingga semakin banyak juga,” jelasnya.
Ia mencontohkan model serupa yang telah berhasil diterapkan di India. Negara tersebut gencar memproduksi gula untuk memperoleh molases yang kemudian diolah menjadi bioetanol.
Baca Juga: Ketergantungan Impor Metanol Jadi Batu Sandungan Implementasi B50 Tahun Depan
"Konsep ini ada di India juga, dia produksi gula besar-besaran, dapatlah molases yang banyak. Nah, itu diconvert menjadi bioetanol,” terangnya.
India bahkan kini sudah menjalankan program E20, yakni pencampuran 20% etanol ke dalam bensin, yang juga diterapkan di Thailand dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, Eniya memastikan kendaraan yang beredar di Indonesia sudah kompatibel hingga campuran etanol 20%, begitu pula dengan fasilitas blending di Terminal BBM yang telah mampu mencampur hingga batas tersebut.
Namun, Eniya menegaskan bahwa level campuran etanol di Indonesia saat ini baru mencapai 5%, karena pasokan bahan baku masih terbatas. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, kata Eniya, menolak keras opsi meningkatkan campuran dengan mengandalkan impor.
Baca Juga: Etanol Umum Dijadikan Campuran BBM di Negara Maju, Dinilai Efektif Tekan Emisi Karbon
Rencana pembangunan pabrik bioetanol di Merauke, Papua Selatan, diharapkan dapat menjadi solusi untuk memperkuat pasokan dalam negeri dan mendongkrak rasio pencampuran etanol di masa mendatang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo