Lapangan Kerja Tumbuh Pincang, INDEF: Industrinya Maju, Tenaga Kerja Tertinggal
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di atas 5% dinilai belum mencerminkan kondisi lapangan kerja yang sesungguhnya. Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan adanya anomali struktural yang membuat perluasan kesempatan kerja tak sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi.
“Biasanya angkatan kerja kita bertambah 3,5 juta hingga 4 juta per tahun. Tapi tahun ini hanya naik 1,9 juta orang. Ini aneh, dan harus dijelaskan oleh BPS,” ujar Heri dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk “Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III-2025”, Kamis (6/11/2025).
Menurut Heri, fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum inklusif. “Artinya, kapasitas penyerapan tenaga kerja mulai menurun meski ekonomi tumbuh di atas 5%. Ini sinyal serius,” katanya.
Baca Juga: BPS: Tingkat Pengangguran Turun Tipis, Penyerapan Tenaga Kerja Masih Berjalan
Ia juga menyoroti peningkatan jumlah pekerja paruh waktu dan setengah pengangguran yang menandakan kualitas pekerjaan belum membaik.
Lebih lanjut, Heri menjelaskan, ketimpangan terbesar terjadi karena struktur ekonomi yang tidak sinkron dengan struktur ketenagakerjaan. Industri pengolahan yang menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB, sekitar 19%, justru tidak menjadi sektor penyerap tenaga kerja utama. Sebaliknya, sektor pertanian yang hanya menyumbang 14,3% terhadap PDB masih menampung hingga 28,15% dari total tenaga kerja nasional.
“Artinya, kue ekonomi yang kecil direbut oleh banyak orang, sedangkan sektor industri yang kuenya besar justru hanya sedikit menyerap tenaga kerja. Ini anomali,” tegas Heri.
Ia menilai, transformasi ekonomi Indonesia menuju industri modern tidak diikuti dengan transformasi tenaga kerja. Banyak sektor sudah beralih ke teknologi tinggi dan artificial intelligence, tetapi keterampilan tenaga kerja masih bertumpu pada sektor primer.
“Industrinya sudah bicara AI, tapi tenaga kerjanya tidak diajak. Akibatnya, mereka tertinggal,” ungkapnya.
Sebagai contoh, Heri menyoroti lambatnya pemerintah menyiapkan pelatihan untuk teknisi kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Sekarang mobil listrik makin banyak, tapi lembaga pelatihan kerja (LPK) belum punya kurikulum atau alat untuk melatih teknisi EV. Ini harus segera diubah,” katanya.
Selain faktor tenaga kerja, Heri juga menyoroti tekanan pada industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki yang menghadapi gelombang PHK akibat ketatnya persaingan dengan produk impor. Ia menilai, level persaingan antara industri domestik dan produk impor tidak seimbang.
“Produk garmen impor bisa masuk bebas lewat marketplace, tanpa kepastian pajak dan regulasi. Sementara pelaku domestik harus patuh aturan dan pajak. Pemerintah harus berpihak, tidak bisa hanya menonton,” ujarnya.
Baca Juga: DEN Ungkap 27 Pabrik Baru Siap Serap 130.000 Tenaga Kerja
Heri menambahkan, rendahnya efisiensi investasi turut memperburuk daya serap kerja. Dengan rasio ICOR 6,33, investasi di Indonesia masih tergolong tidak efisien karena banyak proyek padat modal tetapi tidak padat karya.
Ia menegaskan, pemerintah perlu memperbaiki efisiensi investasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menyiapkan transformasi tenaga kerja yang adaptif terhadap perubahan industri agar pertumbuhan ekonomi benar-benar berdampak pada kesejahteraan.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2025 sebesar 5,04 persen (yoy). Angka ini menunjukkan keberlanjutan pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, INDEF menilai bahwa momentum akselerasi mulai tertahan, terutama karena melemahnya konsumsi rumah tangga, efisiensi investasi yang rendah, serta kualitas tenaga kerja yang stagnan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri