Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        HNW Dorong Pesantren Kawal Konstitusi dan Ambil Peran Penting Meraih Indonesia Emas 2045

        HNW Dorong Pesantren Kawal Konstitusi dan Ambil Peran Penting Meraih Indonesia Emas 2045 Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pesantren memiliki posisi penting dalam pembangunan bangsa dan negara, selain pembangunan keummatan, baik secara historis maupun konstitusional. Penguatan Pesantren telah memperoleh dasar hukum yang kuat sejak era Reformasi dengan hadirnya UUDNRI 1945 psl 31 ayat 3&5, UU no 20/2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional dan terutama dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang mengakui tiga bentuk lembaga pesantren yang riel ada di Indonesia yaitu: tradisional, modern, dan terpadu.

        Hal itu ditegaskan oleh Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. (HNW) dalam Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara bertema “Pesantren Kuat, Indonesia Maju: Sinergi dan Kolaborasi untuk Penguatan Dakwah dan Kemandirian Pesantren” di Kampoeng Wisata Gowes, Depok, Jawa Barat, Kamis (6/11/2025). 

        Kegiatan ini digelar oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Majelis Pesantren dan Dakwah Indonesia (MPDI), menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Guru Besar Ilmu Bahasa Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. Uril Baharudin, M.A., Pimpinan Pesantren Baitul Qur’an, Dr. Muslih Abdul Karim, M.A., serta Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Satori Ismail, M.A.

        “Pesantren sudah berkontribusi jauh sebelum adanya pengakuan konstitusional. Kini, dengan dasar hukum yang jelas, peran pesantren mestinya semakin kokoh untuk melahirkan generasi beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, gen Z yang menyongsong Indonesia Emas 2045,” ujar HNW. 

        Ia menambahkan, pemerintah wajib memperjuangkan pendidikan yang menghormati kekhasan dan nilai-nilai keagamaan sesuai amanat konstitusi. HNW juga menyoroti perlunya optimalisasi Dana Abadi Pesantren sebagai bentuk keadilan anggaran bagi lembaga pendidikan Islam. Ia menjelaskan, pada tahun 2024 realisasi dana abadi pesantren baru mencapai sekitar Rp250 miliar dari potensi minimal Rp900 miliar per tahun. 

        Baca Juga: HNW Tegaskan Empat Pilar MPR Jadi Modal Dasar Kuat Menuju Indonesia Emas 2045

        “Jumlah santri di Indonesia mencapai lima hingga sebelas juta jiwa. Karena itu, alokasi dana abadi pesantren seharusnya mendapat porsi minimal 10 persen dari Dana Abadi Pendidikan nasional,” tuturnya. 

        Ia pun mendorong agar dana abadi pesantren dipisahkan dari dana abadi pendidikan nasional agar pengelolaannya lebih transparan dan proporsional. 

        “Pesantren adalah aset bangsa. Memperkuat pesantren berarti memperkuat fondasi Indonesia yang berkeadaban dan berkemajuan,” pungkasnya.

        Sementara itu, Prof. Dr. Uril Baharudin, M.A., Guru Besar Ilmu Bahasa Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Ketua Dewan Pakar MPDI, menegaskan komitmennya dalam mendorong pesantren sebagai pusat lahirnya ulama pejuang yang berilmu dan berintegritas. 

        Ia menyoroti pentingnya perluasan jaringan pesantren yang harus diimbangi dengan peningkatan kualitas, terutama dalam hal penguasaan bahasa Arab dan standarisasi kurikulum antar-pesantren. 

        “Rata-rata kelemahan pesantren kita justru pada penguasaan bahasa Arab, padahal itu adalah ruh dari pesantren. Kita perlu memperkuat kembali aspek itu agar lulusan antar-pesantren memiliki standar yang sama,” tuturnya.

        Prof. Uril juga menekankan pentingnya sinergi antarforum pesantren untuk membangun ekosistem dakwah kultural yang kuat, sekaligus mendorong aspirasi bersama agar mata kuliah bahasa Arab tidak terus dikurangi di madrasah maupun perguruan tinggi. 

        “Bahasa Arab adalah fondasi. Kalau kita biarkan terus berkurang, maka jati diri pesantren akan melemah. Karena itu, kita perlu bersuara bersama demi kemajuan umat dan bangsa,” pungkasnya.

        Dalam kesempatan yang sama, Dr. Muslih Abdul Karim, M.A. menegaskan peran sentral santri bukan hanya sebagai pelajar, tetapi juga sebagai penerus sejarah dan pilar kemajuan bangsa. 

        Ia menyinggung perjalanan organisasi yang kini menggunakan nama Majelis Pesantren Dakwah Indonesia (MPDI) serta menekankan bahwa slogan “Pesantren kuat, Indonesia maju” harus menjadi semangat dasar bagi seluruh keluarga besar pesantren.

        Dr. Muslih juga mendorong agar pesantren mengamalkan dua ideologi fundamental: Ideologi Al-Ma’un dan Ideologi Nubuwwah atau kenabian. 

        Ideologi ini, menurutnya, mengajarkan santri untuk menjadi pelayan umat atau "khairun nas anfa’uhum linnas" dan memprioritaskan memberi ketimbang meminta, sebagaimana teladan Rasulullah yang lebih mementingkan memberi kepada kaum mualaf daripada sahabat utamanya demi menjaga semangat keikhlasan dan pengorbanan. 

        Menutup pidatonya, Dr. Muslih menyerukan pentingnya menumbuhkan rasa kepemilikan kolektif terhadap MPDI. “Pesantren MPDI milik siapa? Milik saya!” serunya. 

        Ia menegaskan bahwa rasa kepemilikan ini merupakan kunci kemandirian dan keberlangsungan pesantren dari gempuran materialisme dan permisivisme. Ia optimistis, dengan fondasi ideologis yang kuat, MPDI akan terus berkembang pesat. 

        “Sekarang ada 300, insya Allah nanti ada 600, dan tahun berikutnya insya Allah 1.200,” pungkasnya, seraya berharap MPDI menjadi berkah dan bermanfaat bagi seluruh umat.

        Adapun Prof. Dr. Satori Ismail, M.A., pakar pendidikan Islam dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan pentingnya pesantren untuk meneguhkan kembali nilai kemandirian sebagai salah satu panca jiwa pesantren. 

        Menurutnya, kemandirian tidak hanya mencerminkan ajaran Islam tentang tanggung jawab dan ketekunan, tetapi juga menjadi kunci keberhasilan lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman. 

        Baca Juga: Gelar Mukernas 2025, MPDI Perkuat Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

        “Islam menyuruh kita untuk mandiri, apalagi di bidang ekonomi dan pendidikan. Kemandirian itu kunci kesuksesan,” ujarnya. 

        Ia mencontohkan sejumlah lembaga pendidikan yang berhasil mengelola dapur, logistik, dan produk sendiri hingga mampu memenuhi kebutuhan ribuan santri tanpa bergantung pada pihak luar. 

        Termasuk, kata dia, kemandirian dalam pendidikan dan pengelolaan kelembagaan. Prof. Satori mengingatkan agar pesantren tidak sekadar mempertahankan kesederhanaan, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman, terutama dalam penguasaan bahasa asing dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa kini. 

        “Santri harus dibekali kemampuan bisnis, keterampilan hidup, dan belajar mandiri. Pesantren perlu dikelola secara profesional agar orang tua dan masyarakat melihat mutu dan relevansinya,” tuturnya.

        Prof. Satori berharap, dengan sinergi dan pemikiran cerdas dari berbagai kalangan, cita-cita kemandirian pesantren di berbagai bidang dapat terwujud secara nyata dan berkelanjutan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: