Greenpeace Soroti Deforestasi dan Krisis Iklim sebagai Pemicu Banjir Sumatera
Kredit Foto: Istimewa
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah menetapkan banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional. Banjir yang terjadi sejak akhir November itu telah menewaskan lebih dari 600 orang, ratusan lainnya dinyatakan hilang, serta memaksa ratusan ribu warga mengungsi.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, memastikan bahwa Greenpeace menyatakan langkah penetapan status darurat nasional diperlukan agar penanganan bencana dapat dilakukan lebih cepat dan terkoordinasi.
“Peristiwa banjir besar yang melanda Sumatera ini seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total. Banjir besar tersebut menandakan dua hal: dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun,” ujar Arie dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (4/12/2025).
Baca Juga: OK OCE Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Aceh dan Sumatera
Greenpeace menyoroti faktor cuaca ekstrem sebagai pemicu utama. Hujan lebat yang diperparah siklon tropis Senyar pada 25–27 November 2025 menyebabkan curah hujan ekstrem di Selat Malaka hingga daratan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menyebut perlintasan siklon tropis hingga daratan Sumatera sebagai fenomena tidak umum mengingat kedekatan wilayah itu dengan garis ekuator.
Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan hujan ekstrem akan terus mengintai masyarakat Indonesia dan dunia sebagai dampak dari krisis iklim. Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, dampak krisis iklim bukan hanya angka, tapi juga mengancam nyawa.
"Harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius. Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional,” ujar Iqbal Damanik,
Selain krisis iklim, Greenpeace menilai perusakan hutan dan alih fungsi lahan turut memperparah dampak banjir. Mengacu pada analisis berdasarkan data Kementerian Kehutanan, organisasi itu mencatat bahwa sejak 1990 hingga 2024, hutan alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat mengalami alih fungsi besar-besaran untuk perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman.
Baca Juga: Harga Cabai di Siak Makin 'Pedas' Imbas Banjir Sumbar-Sumut
“Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis–dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10–14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare,” kata Sapta Ananda Proklamasi, Peneliti Senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Salah satu daerah aliran sungai (DAS) yang paling rusak ialah DAS Batang Toru di Tapanuli. Greenpeace mencatat deforestasi mencapai 70 ribu hektare atau 21 persen selama 1990–2022. Perizinan berbasis lahan dan aktivitas ekstraktif meliputi 94 ribu hektare atau 28 persen kawasan, sementara erosi mencapai 31,6 juta ton per tahun. Hutan alam kini tersisa di bagian tengah DAS, sedangkan hulu dan hilir telah berubah menjadi area pertanian kering, perkebunan sawit, dan industri bubur kertas.
Greenpeace menilai pemerintah harus segera membenahi tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh untuk mencegah bencana berulang. “Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatera harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini,” kata Arie Rompas.
Baca Juga: PLN NP Kerahkan Helikopter Tembus Lokasi Terisolasi Banjir Bandang di Sumut–Aceh
Greenpeace juga meminta pemerintah mengevaluasi seluruh izin berbasis lahan di Sumatera dan menghentikan perusakan hutan di wilayah lain, termasuk Papua. “Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita,” ujar Arie.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: