WE Online, Jakarta - Untuk membangun sistem demokrasi ideal diperlukan prinsip dan kesadaran politik dalam mewujudkan nilai-nilai yang berkeadaban sebab kekuasaan yang diraih melalui proses yang baik dapat menciptakan sinergisitas dalam upaya mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, yakni kesejahteraan rakyat.
Namun, fakta membuktikan sejarah kepartaian pascareformasi belum menampilkan diri sebagai sarana politik yang ideal bagi kepentingan umum, kemaslahatan masyarakat, dan keadilan sosial. Perjuangan politik yang seharusnya bertujuan mulia, berkarakter, dan manusiawi, masih menjadi arena perebutan kekuasaan semata untuk memenuhi keserakahan dan kepentingan sempit pribadi, kelompok, dan golongan.
Praktik dan sepak terjang politik masih berpola machiavelistis. Segala jalan dan cara digunakan untuk memenuhi keserakahan. Politik tak didasarkan pada akal sehat, nurani, dan kehendak baik, guna memperjuangkan bonum commune dan salus populi, tetapi sebagai pertarungan insting menurut hukum rimba homo homini lupus: manusia "menghisap darah" manusia.
Inilah yang terjadi pada suksesi Partai Golkar. Hasil musyawarah nasional luar biasa (munaslub) yang digelar di Bali beberapa waktu lalu, justru membalik sejarah. Golongan Karya seperti berupaya dikembalikan ke masa lalu seperti di era Orde Baru.
Lembagai "super" bernama Dewan Pembina dihidupkan kembali dan produk kepengurusan yang dihasilkan munaslub menjadi klimaks dan memicu proses degradasi. Betapa tidak, belum habis isu keterpilihan sosok kontroversial Setya Novanto sebagai ketua umum, partai beringin juga disorot perihal sejumlah figur yang diplot duduk di dewan pemimpin pusat (DPP).
Dari mulai Ketua Harian Nurdin Halid hingga sejumlah nama yang merupakan mantan narapidana. Golkar mulai kehilangan spirit reformasi yang dibangun berdarah-darah di era Akbar Tandjung. Sejarah mencatat bagaimana pasca-orba, Akbar harus merestrukturisasi Golkar dari stigma "Golkar putih" dan "Golkar hitam". Kini bandul Golkar terlihat mengarah kembali pada ekstremisme tersebut.
Saat munaslub, friksi antara kubu idealis-reformis dan pragmatis-konservatif mencuat lagi. Kubu idealis-reformis harus mengakui kemenangan faksi pragmatis-konservatif yang terwakili oleh sosok-sosok utama di struktur DPP. Itulah format rekonsiliasi Golkar setelah konflik internal pasca Pilpres 2014.
Suka atau tidak, demokrasi di Indonesia masih bertumpu pada partai politik. Ideologi dan orientasi parpol menentukan sistem dan budaya politik di negeri ini. Pembangunan politik sangat bergantung pada corak kehidupan parpol. Pembangunan politik mencakup perbaikan struktur politik (konstitusi), kualitas proses politik (parpol dan pemilu), serta budaya politik (kesadaran politik politisi dan masyarakat).
Agenda tersebut menjadi kacau bila institusi politik tampil tanpa prinsip. Kondisi semakin diperparah oleh perspektif pemerintah yang menganggap parpol bukan lagi penggerak partai sebagai infrastruktur politik. Parpol masih dilihat sebagai kawan atau lawan politik sehingga sebisa mungkin dirangkul atau dilemahkan.
Akibatnya, otokrasi bisa kembali bercokol dan mekanisme pengawasan dan perimbangan kekuasaan (cheks and balances) sulit terwujud. Struktur politik juga akan sulit dikendalikan. Proses politik makin didominasi orientasi pragmatis yang transaksional. Parpol dikuasai para pemilik modal yang menggantikan fungsi perekrutan kader di internal partai.
Jabatan-jabatan politik dan publik tidak lagi berpatokan pada sistem meritokrasi dan kualitas kader, melainkan sesuai keinginan pemilik modal. Kader-kader partai yang bagus tidak selalu muncul sebagai pemimpin di tingkat daerah maupun nasional. Hal ini berpengaruh pada sistem kaderisasi dan menekan kesadaran politik masyarakat. Partisipasi politik masyarakat bisa menurun karena ketidakpercayaan pada partai.
Karena itu, parpol harus memiliki prinsip. Sebab, mengutip Mahatma Gandhi, parpol tanpa prinsip adalah bagian dari tujuh dosa sosial yang akan meluluh lantakkan banyak sendi kehidupan. Menurut tokoh India yang pejuangannya dikagumi dunia itu, tujuh dosa sosial tersebut adalah kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa suara hati, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas (etika), ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.
Karena mengabaikan prinsip, kini banyak politisi menghabiskan uang untuk membangun citra, meski citra itu dangkal tiada isi, hanya untuk memperoleh jabatan. Dan tanpa prinsip, sistem politik akan liar karena bekerja terlepas dari moral, etika, dan hukum.
Ingat, bila tak ada prinsip, tak ada yang bisa dijadikan tempat bergantung karena prinsip adalah kompas penunjuk arah sejati dan landasan pembangunan sistem nilai. Keduanya harus berjalan selaras. Bila parpol mengabaikan prinsip, sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah mengingatkan, "akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik".
Penulis: Ricky Rachmadi
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement