Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebakaran Gambut: Tak Cukup Jaga Muka Air 40 Cm

Warta Ekonomi, Jakarta -

Menjaga kelembaban gambut dengan memadatkan gambut menjadi metode untuk mematahkan kebakaran gambut. Tak cukup hanya dengan menjaga air di bawah gambut 40 cm.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kemarau di tahun ini tidak akan separah kemarau tahun lalu. Hanya saja, sisa-sisa El Nino masih akan berlanjut sampai Maret ini. Sejumlah daerah sudah mulai basah, seperti Jawa dan Papua. Namun, di sisi lain, masih ada pula daerah yang masih kering seperti Kalimantan Timur. Adapun Riau, daerah ini memang memiliki karakteristik khusus. Di daerah ini terjadi dua kali kemarau, yakni kemarau pendek dan kemarau panjang.

Belum lama ini, Dumai (Riau) tertimpa kebakaran lahan. Perkiraan lahan yang terbakar mencapai ratusan hektare dari Januari hingga pertengahan Maret ini. Peristiwa kebakaran yang kerap terjadi di Indonesia mendorong pemerintah menggiatkan berbagai pihak untuk bersatu padu melawan kebakaran, mulai dari pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota), perusahaan, hingga kementerian/lembaga. Bahkan, lahirnya Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi titik tolak pemerintah menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, apakah pembentukan lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden itu akan mujarab? “Restorasi nomor satu berarti muka air dinaikkan, agar sebelum musim kemarau kita simpan air sebanyak mungkin dan saat musim kemarau tetap basah,” kata Kepala BRG Nazir Foead kepada media di sela-sela Rakor Restorasi Gambut dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Senin (14/3).

Lahan gambut seperti menjadi “tersangka” saat api melalap lahan yang banyak tersebar di wilayah Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua ini. Hanya saja, lahan ini memang lebih mudah terbakar. Namun, bukan hal yang mustahil kebakaran bisa dihindari. Bukan cerita yang mengada-ada kebakaran di lahan gambut bisa dihindari. Malaysia yang juga pemain utama sawit berhasil menekan kebakaran di lahan gambut. Memang ada perbedaan pendekatan yang dilakukan dalam mengelola gambut di Indonesia dan di Malaysia.

Salah satunya, soal tinggi air di bawah permukaan gambut. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014, bahwa ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan, yakni muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 m (40 cm) di bawah permukaan gambut. Nazir mengatakan akan tetap mengacu PP tersebut sampai nanti direvisi.  “Kalau maunya BRG tidak ada kebakaran lagi, maka tinggi air setinggi-tingginya. Kalau menjaga 40 cm di musim hujan maka kemaraunya pasti turun jauh. Pada musim hujan harus di atas, harus menyimpan air kan kita,” tutur Nazir.

Lebih lanjut Nazir menyebutkan 40 cm lebih baik pada saat musim kemarau. Oleh karena itu, pada saat musim hujan, penyimpanan air harus lebih banyak. Namun, pada praktiknya tidak akan semudah itu menjaga air tetap pada kisaran tersebut. Water management system, menurut ahli ilmu tanah IPB Basuki Sumawinata, tidaklah mudah. Apalagi tanah gambut bukanlah tanah datar.

Bagaimana dengan pengalaman pengelolaan lahan gambut di Sarawak, Malaysia? Doktor Lulie Melling yang meneliti gambut sekitar 25 tahun menilai bahwa penjagaan level air tidak akan cukup menghindarkan gambut dari kebakaran. Ia menunjukkan gambut yang strukturnya tidak padat akan tetap terbakar bagian atasnya meski lapisan di bawahnya basah dipenuhi air. Sebagai perbandingan Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) itu menunjukkan gambut lainnya yang telah dipadatkan. Pemadatan tersebut membuat air dapat meresap lewat celah-celah kecil dan membuat gambut lembap lebih merata, bukan basah. Api akan sulit membakar lahan gambut yang sudah padat tersebut.

Negara bagian Malaysia itu memperbolehkan adanya proses pembakaran bonggol atau batang-batang kayu yang tidak terpakai. Namun, pembakaran baru dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari pemerintah. Diperbolehkan, tetapi tidak serta merta mudah dilakukan. Salah satunya, diperbolehkan untuk membakar di luar hujan yang berintensitas rendah. Praktik-praktik seperti ini dilakukan perusahaan untuk menjaga lahannya terhindar dari kebakaran.

Basuki mengamini teknik tersebut memang dapat menekan kebakaran jika diterapkan di Indonesia. Metode pemadatan tanah telah ia teliti sejak lama. Namun, belum banyak yang mengimplementasikannya di Indonesia. Apa yang terjadi saat ini karena gambut di Indonesia “tak berisi”. “Kebakaran tetap kebakaran karena gambutnya kempong. Apakah gambut kempong akan padat? Akan padat. Lama-lama akan padat, tapi lama, bisa seratus tahun. Itu pun kalau tidak keburu terbakar,” tandas Basuki. Prinsipnya, api akan cepat meluas karena ada oksigen yang memberikan ruang pembakaran. Makin tidak ada oksigen maka api makin sulit menyala. Demikian penjelasan secara kimiawinya. Oleh karena itu, pantas saja gambut padat di Sarawak akan sulit terbakar, karena ruang untuk oksigen sedikit.

Pengalaman dari Sarawak tersebut menjadi ruang kritik sekaligus belajar bagi Indonesia yang selama ini belum tuntas mengurai masalah kebakaran lahan, baik di lahan gambut maupun lahan mineral.###

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Arif Hatta

Advertisement

Bagikan Artikel: