Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menjembatani Kesenjangan Infrastruktur Indonesia

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia berhasil keluar dari turbulensi ekonomi tahun 2015 dengan proyeksi pertumbuhan yang relatif kuat meskipun tetap menghadapi beberapa tantangan ekonomi ke depannya.

Harga komoditas yang rendah menekan pendapatan pemerintah, perlambatan pertumbuhan di China membebani perdagangan, dan perkiraan kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) telah menyebabkan tekanan arus modal keluar. Dengan kondisi tersebut, bagaimanapun, prospek pertumbuhan Indonesia relatif tetap tinggi sekitar 5% untuk 2016 serta sentimen internasional tetap positif.

Proyeksi bullish (tren naik atau menguat) ini terutama merupakan hasil dari dukungan terhadap program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang sering disebut sebagai program investasi infrastruktur - sebuah paket sebesar USD480bn (atau 50% dari PDB) yang dilaksanakan selama empat tahun (2015-2019) dengan fokus pada infrastruktur energi dan transportasi.

Indikasi-indikasi awal sangat meyakinkan. Investasi, yang terutama dipimpin oleh belanja publik di sektor infrastruktur telah menambah sekitar dua poin persentase (pps) untuk pertumbuhan PDB riil sekitar 5% baik pada kuartal empat 2015 dan kuartal satu 2016.

Fokus pemerintah untuk mempersempit kesenjangan infrastruktur telah memperoleh justifikasi. Dibandingkan dengan negara-negara berkembang (emerging markets/EM) besar lainnya, Indonesia terlihat menonjol karena memiliki infrastruktur relatif terbelakang.

Menurut World Economic Forum (WEF), Indonesia berada di peringkat 62 di antara 140 negara dalam hal kualitas infrastruktur, di belakang negara-negara berkembang/EM regional utama seperti Malaysia (24), China (39), dan Thailand (44).

Ketersediaan infrastruktur yang sangat kurang di negeri ini adalah akibat dari kurangnya investasi yang kronis. Belanja modal publik rata-rata hanya mencapai 3,5% dari PDB selama tahun 2011-2014 dibandingkan dengan lebih dari 10% di China dan Malaysia dan di atas 5% di Thailand.

Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, kurangnya investasi di bidang infrastruktur telah sangat mempengaruhi konektivitas antara rumah tangga dan tempat kerja. Indonesia menderita kemacetan yang parah, penundaan dan kurangnya kapasitas di pelabuhan, bandara yang terlalu padat, sistem kereta api yang tidak memadai, kurangnya pasokan listrik dan air, serta jaringan data yang lamban.

Hal-hal tersebut meningkatkan biaya untuk melakukan bisnis, kesenjangan ini begitu besar sehingga harga semen sepuluh kali lebih mahal di Pulau Papua dibandingkan di Jakarta. Ditinjau secara lebih luas, hal ini mengikis daya saing, menghambat investasi, dan mengurangi potensi pertumbuhan Indonesia.

Menambah dan meningkatkan kualitas infrastruktur dapat menjadi pendorong yang kuat bagi perekonomian Indonesia. Dalam jangka pendek, akan meningkatkan permintaan domestik dan lapangan pekerjaan, dan dalam jangka panjang, hal itu dapat mendorong pertumbuhan produktivitas ekonomi secara luas.

Laju investasi infrastruktur telah naik dengan cepat, meningkat sebesar 43,6% dalam dolar AS dan naik menjadi 2,5% dari PDB pada tahun 2015 dan ini hanya dalam tahun pertama program pemerintah tersebut. Namun demikian, meskipun terdapat tanda-tanda awal yang positif, ada beberapa risiko dan tantangan pada pelaksanaan program belanja yang ambisius ini.

Acting Head of Economics QNB Group Ziad Daoud mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi empat tantangan utama. Ia menjelaskan tantangan pertama adalah adanya potensi benturan politik. Pada tahun 2015 partai-partai oposisi yang memiliki perwakilan lebih dari 50% anggota parlemen dan telah menghambat kinerja pemerintah di mana mereka hanya mampu mengeluarkan tiga undang-undang.

"Pemerintahan Jokowi saat ini telah berhasil membangun hubungan yang lebih efektif dan merangkul partai politik pendukung yang cukup untuk membangun koalisi mayoritas di parlemen sehingga diharapkan mampu mengeluarkan sekitar 40 undang-undang baru pada tahun 2016. Kemampuan untuk mempertahankan dukungan politik ini akan menjadi penting bagi pemerintah untuk mengelola program infrastruktur secara efektif," katanya dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Jumat (8/7/2016).

Ziad menyampaikan tantangan kedua adalah bagaimana program infrastruktur akan dibiayai. Harga minyak yang turun telah mengurangi pendapatan pemerintah secara signifikan. Pada tahun 2014, pendapatan dari persentase PDB mencapai 16,5% dibandingkan dengan 14,8% pada tahun 2015 dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memprediksi penurunan lebih lanjut hingga 14% pada tahun 2016.

"Pemerintah telah mengambil langkah penting untuk mengurangi dampak dari penurunan harga minyak dengan mengurangi subsidi minyak. Namun demikian, pendapatan masih rentan terhadap guncangan eksternal seperti pertumbuhan yang lebih lambat dari ekspektasi sebelumnya di China yang dapat berdampak terhadap pendapatan ekspor Indonesia," ujarnya.

Disampaikan, tantangan ketiga adalah kebijakan fiskal Indonesia. Indonesia memiliki kebijakan fiskal lama yang menetapkan bahwa defisit pemerintah tidak boleh melebihi 3% dari PDB dan total utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB. Pemerintah mencatat defisit sebesar 2,5% pada tahun 2015 dan saat ini IMF memperkirakan defisit sebesar 2,8% pada tahun 2016.

"Oleh karena itu, pemerintah akan mempunyai ruang yang lebih kecil jika pembiayaan fiskal lebih tinggi akibat dari kenaikan suku bunga AS atau guncangan tak terduga lainnya sehingga otoritas berwenang akan terpaksa mengurangi berberapa pengeluaran investasi," sebutnya.

Tantangan keempat, imbuhnya, adalah kapasitas pelaksanaan. Indonesia telah menetapkan penggunaan badan usaha milik negara (BUMN) dan telah menginisiasi kemitraan swasta publik (public private partnership/PPP) untuk membantu mengelola program investasi infrastruktur.

"Hal ini memiliki keuntungan seperti pembagian biaya (cost-sharing) dan peningkatan efisiensi, namun hal ini juga membutuhkan tingkat koordinasi yang tinggi serta tata kelola pemerintahan yang matang. Buruknya integrasi perencanaan, penganggaran, dan koordinasi dapat mengakibatkan pembengkakan biaya, rendahnya produktivitas, atau penundaan dan pembatalan proyek secara langsung," paparnya.

Sebagai kesimpulan, ia menegaskan program investasi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda awal positif untuk sukses. Hal ini juga berpotensi memungkinkan Indonesia mengatasi risiko kerugian akibat dari gejolak keuangan serta melemahnya pertumbuhan eksternal.

"Kami tetap optimis terhadap program infrastruktur dan prospek Indonesia dan oleh karena itu tetap bertahan pada proyeksi kami dalam Economic Insight report edisi bulan September 2015 di mana pertumbuhan PDB riil akan mencapai 5% pada tahun 2016," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: