Anggota Komisi VI DPR Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kebijakan pemerintah mengenai penurunan tarif interkoneksi telekomunikasi harus memperhatikan prinsip keadilan dan persaingan yang sehat.
"Jangan sampai hanya menguntungkan operator swasta saja," kata Yaqut dalam penyataan tertulisnya di Jakarta, Senin (5/9/2016), menanggapi polemik penurunan tarif interkoneksi yang sedang berlangsung saat ini.
Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kebijakan tarif interkoneksi hendaknya tidak merugikan Telkom dan anak perusahaannya, Telkomsel, yang selama ini giat membangun infrastruktur jaringan hingga ke daerah pedalaman atau pelosok dengan nilai investasi yang tidak sedikit.
Menurut dia, operator swasta tidak seserius operator "pelat merah" itu dalam membangun infrastruktur jaringan, atau hanya terbatas di kawasan kota.
Ia mengatakan perlu diberlakukan skema asimetris dalam perhitungan dasar tarif interkoneksi. Artinya, tarif interkoneksi berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan atas kerja keras membangun jaringan dan efisiensi dari masing-masing operator.
Dengan menetapkan tarif interkoneksi berbasis biaya masing-masing operator, secara tidak langsung Pemerintah mendorong para operator untuk terus membangun jaringan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan RDPU(Rapat Dengar Pendapat Umum) Komisi I DPR dengan para operator, lanjutnya, didapatkan data bahwa cost recovery Telkom dan Telkomsel sebesar Rp285 per menit. Sedangkan cost recovery operator lainnya, Indosat Rp86 per menit, XL Rp65 per menit, Smartfren Rp100 per menit, dan Tri Rp120 per menit.
"Dengan demikian, tarif interkoneksi yang rencananya dikenakan sebesar Rp204 per menit jauh di bawah cost recovery yang ditanggung oleh Telkom/Telkomsel," terangnya.
Terkait wacana lebih lanjut dari tarif interkoneksi ini adalah revisi terhadap PP No. 52 dan PP No. 53 Tahun 2000, yang memungkinkan adanya network sharing. Jika hal tersebut terjadi, menurut Yaqut negara bisa mengalami kerugian yang besar.
"Para operator yang selama ini malas membangun jaringan akan mendompleng jaringan Telkom/Telkomsel sehingga dikhawatirkan akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah," kata.
Yaqut menilai tidak tepat bila penurunan tarif interkoneksi disebut ditujukan demi konsumen mengingat penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp46 per menit sesungguhnya tidak terlalu berdampak signifikan bagi konsumen. Komponen biaya interkoneksi hanya berkontribusi rata-rata sebesar 15 persen dari total biaya tarif ritel yang berada di kisaran Rp1.500 - Rp2.000 per menit.
"Isu tarif interkoneksi ini jelas adalah aksi korporasi saja yang ingin mendobrak dominasi Telkom dan Telkomsel dalam industri telekomunikasi, dan memperbesar setoran ke pemilik saham atau investor utama yang berada di luar negeri seperti Malaysia dan Qatar," katanya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement