Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyatakan pembangunan gardu tol otomatis (GTO) akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap setidaknya 20.000 orang pekerja.
"Oleh karena itu kami meminta kepada pemerintah untuk menghentikan pembangunan GTO di seluruh Indonesia, baik milik BUMN maupun swasta," ujar Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat di sela unjuk rasa rasa buruh di Jakarta, Kamis (28/9/2016).
Pemerintah, menurut perempuan yang juga Presiden Serikat Karyawan Jalantol Lingkarluar Jakarta (SKJLJ) ini, seharusnya menciptakan dan menjamin lapangan pekerjaan, bukan menjadi pihak yang justru menghilangkan mata pencaharian rakyatnya.
Mirah meminta pemerintah tidak hanya mempertimbangkan keuntungan bisnis dari otomatisasi gardu tol. Sebab, perusahaan pengelola jalan tol selama ini sudah mendapatkan laba yang sangat tinggi.
"Di mana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat?" tutur dia.
Keberadaan GTO juga dianggap bentuk pemaksaan terhadap masyarakat yang menjadi konsumen tol. Masyarakat mau tidak mau mesti menunaikan sistem pembayaran elektronik dengan kartu "e-toll", yang menurut Mirah, mengambil paksa uang konsumen.
Misalnya, untuk membeli sebuah kartu tol elektronik, harus mengeluarkan uang sekitar Rp50.000. Namun di dalamnya hanya ada saldo Rp30.000.
"Bahkan sebelum digunakan bertransaksi, uang konsumen sudah dipotong. Ke mana sisa uang itu?" kata Mirah.
Jika pemerintah tidak mengindahkan permintaan terkait GTO tersebut, Mirah berjanji Aspek Indonesia, yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), akan mengonsolidasikan buruh untuk kembali berunjuk rasa dengan jumlah yang lebih besar.
Adapun pada hari ini, Kamis, buruh KSPI, terdiri dari beberapa elemen seperti FSPMI, SPN dan Aspek Indonesia mengadakan unjuk rasa serentak di 20 provinsi di Indonesia.
Di Jakarta, lebih dari 10.000 buruh melaksanakan demonstrasi damai di Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Istana Merdeka dan KPK.
Selain membawa isu pembangunan GTO, kelompok buruh juga menentang pelaksanaan Pengampunan Pajak atau "tax amnesty", yang peninjauannya sudah diajukan buruh ke MK, menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan meminta pemerintah menaikkan upah minimum sebesar Rp650.000 pada tahun 2017. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement