Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menghilangkan Budaya Pungli

Menghilangkan Budaya Pungli Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

"Stop yang namanya pungutan liar terutama kepada yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat. Tangkap dan langsung pecat pegawai yang melakukan pungli".

Begitulah kegeraman yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo yang melakukan kunjungan mendadak di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (11/10) terkait penangkapan atas sejumlah pegawai di kementerian itu yang melakukan pungutan liar (pungli).

Satuan Tugas Penindakan Pungutan Liar dari Polri menangkap lima pegawai Kementerian Perhubungan terdiri atas dua pegawai negeri sipil dan tiga pegawai honorer, serta satu orang dari swasta yang diduga terlibat tindakan pungli perizinan bagi pelaut.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Kementerian Perhubungan menyebutkan polisi menyita barang bukti uang tunai Rp61 juta dari lantai 12 Gedung Karya Kemenhub dan Rp34 juta dari lantai 6 Gedung Karya Kemenhub dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) itu. Dua lantai di Gedung Karya tersebut merupakan lokasi pengurusan izin dari semua direktorat di Kemenhub.

Selain uang tunai diduga hasil pungli, polisi juga menyita buku tabungan yang diduga merupakan rekening untuk dana pungli dengan saldo Rp1 miliar.

Presiden Jokowi yang menakhodai gerakan revolusi mental sejak awal pemerintahannya, pantas geram, karena bisa saja Kepala Negara sebelumnya tidak menduga bahwa pungli masih terjadi di jajaran pemerintahannya, apalagi dia sejak awal telah mewanti-wanti tidak ada lagi pungli.

Sebenarnya apa sih pungli itu dan mengapa masih saja terjadi hingga kini? Pakar hukum pidana alumnus Universitas Pasundan dan Universitas Diponegoro, Tien Hulukati, pernah melakukan penelitian untuk bahan kertas kerjanya mengenai pungli.

Sementara pakar hukum Dr Soedjono Dirdjosirwono dari Universitas Parahyangan dan Universitas Diponegoro pernah menulis buku "Pungli Analisa Hukum & Kriminologi" (Penerbit Sinar Baru Bandung, Cetakan II, Maret, 1983) menyebutkan pungli sekarang ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang penuh kelabu bahkan pungli menjadi satu kebudayaan yang telah melembaga termasuk jenis tindak pidana kriminalitas berat, karena tuntutan kondisi dan situasi yang memang mendukung pada masa itu.

Soedjono menemukan istilah pungli, berdasarkan kamus Bahasa China, "pung" artinya persembahan dan "li" artinya keuntungan. Jadi pungli berarti mempersembahkan keuntungan.

Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib, untuk menanggulangi pungli yang "mewabah".

Pungli memiliki ragam jenis seperti pungli jenis tindak pidana seperti korupsi uang negara, menghindarkan pajak dan bea cukai, pemerasan, dan penyuapan.

Sementara pungli jenis pidana yang sulit dibuktikan antara lain komisi dalam pemberian kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa, dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat, pungutan gaji pegawai, pungutan terhadap uang perjalanan, dan pungutan oleh pos-pos pencegatan.

Pungli berupa uang sogokan atau uang siluman atau uang suap ini adalah tindak pidana yang sudah jelas telah diatur di dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana antara lain tercantum dalam pasal 209-210, pasal 418-419, dan pasal 420.

Beragam Undang-Undang lain, seperti pemberantasan korupsi, juga mengatur dan memberikan ancaman hukuman bagi tindakan pidana ini.

Tien Hulukati dalam kertas kerja berjudul "Pungli Jenis Tindak Pidana Kriminalitas Tergolong Berat" menyimpulkan bahwa pungli pada hakikatnya merupakan interaksi antara petugas dengan warga masyarakat yang didorong oleh pelbagai kepentingan pribadi.

Beraneka ragam cara dalam proses pemberi dan penerima di dalam terjadinya pungli. Untuk penerima (pejabat) bisa karena dorongan untuk mempertahankan hidup namun terdapat pula karena didorong oleh nafsu untuk memperkaya diri, dengan memanfaatkan menjadi pejabat untuk menguntungkan dirinya.

Sebaliknya untuk masyarakat pemberi karena terdorong keadaan terpaksa. Demikian pula dengan pejabat sebagai pemberi dan masyarakat sebagai penerima karena pemberian tersebut mempunyai obyek tertentu, tergantung tujuan yang diharapkan oleh para pihak.

Berhubung dengan hal tersebut, langkah terpadu dalam pemberantasan pungli adalah merupakan langkah tepat.

Reformasi hukum Pemerintah memutuskan pelaksanaan operasi pemberantasan pungutan liar dan penyelundupan (OPP) sebagai bagian langkah awal pelaksanaan reformasi hukum.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyebutkan bahwa Presiden Jokowi menugaskan Menko Polhukam Wiranto untuk merumuskan, menyelesaikan dan segera melaksanakan operasinya.

Sasaran OPP itu antara lain adanya pungutan dalam berbagai pelayanan masyarakat terkait perizinan dan pembuatan surat keterangan, serta penanganan bukti pelanggaran dan penyelundupan.

Kasus pungli di Kementerian Perhubungan itu menjadi semacam terapi kejut untuk pemberantasan pungli secara sistematis dan terpadu di lingkungan pemerintahan.

Pemberantasan pungli merupakan bagian dari reformasi hukum atau revitalisasi hukum nasional.

Menurut Wiranto, sasaran yang akan dicapai adalah pulihnya kepercayaan publik dan ada kepastian hukum.

Ia menyebutkan dari banyak masalah hukum, dapat dibagi menjadi tujuh kelompok antara lain terkait pelayanan publik, penyelesaian kasus, manajemen perkara, penguatan SDM, dan pembangunan budaya hukum.

Ia menyebutkan dalam tahap awal atau tahap pertama pemerintah nelakukan operasi pemberantasan pungli, suap, penyelundupan yang sudah merajalela.

Wiranto mencontohkan ada pembayaran tidak wajar, mengurus sesuatu lama sehingga muncul pungli. Itu harus diberantas. (Ant/Budi Setiawanto)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: