Saksi dalam sidang panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution menyampaikan bahwa Lippo Grup membayar hingga ratusan juta kepada perusahaan konsultan untuk melakukan pencitraan positif terhadap Lippo dan mantan Sekretaris MA Nurhadi.
"Tapi saya ingat ada isu seperti pemilihan ketua MA supaya diperlancar dalam arti beberapa pemilihan di MA berlangsung objektif netral, begitu saja," kata Direktur Utama Kobo Media Spirit Stefanus Slamet Wibowo dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Edy Nasution dalam perkara ini didakwa menerima uang Rp1,5 miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS, dan Rp50 juta untuk mengurus tiga perkara perusahaan Lippo Grup di PN Jakarta Pusat.
Penerimaan Rp1,5 miliar ditujukan untuk merevisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan; penerimaan Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP); dan penerimaan 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited meski sudah melewati batas waktu.
"Yang minta Pak Paul Montolalu, Pak Paul minta pencitraan unit-unit kerja di Lippo. Pak Paul itu dari First Media dan yang saya tahu First Media masuk perusahaan Lippo," ungkap Slamet.
Perusahaan Slamet bertugas untuk membuat pencitraan positif pasca-tertangkapnya pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan bagian dari Lippo Grup, Doddy Aryanto Supeno oleh KPK dan dikaitkannya Nurhadi dan Lippot Grup dengan perkara tersebut.
"Proposal itu ditawarkan ke pawang. Nilai yang di proposal tidak semuanya disetujui, kalau disetujui belum tentu dibayar, dan kalau disetujui dan periodenya sudah habis bisa saja 'client 'minta diskon. Tagihan saya sekitar 5-6 bulan itu Rp600 juta, tapi angka dari Rp600 juta ke pawang tidak semuanya saya berikan karena saya menjalankan fungsi marketing karena saya sendirian jadi saya berhak menentukan 'fee management' untuk saya," ungkap Slamet.
Diduga, uang Rp100 juta yang untuk pengurusan aanmaning PT AAL juga mengalir ke Slamet. Dalam perkara ini, Edy Nasution diancam pidana dalam pasal 12 huruf a atau pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. (CP/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement