Kredit Foto: WE
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan masih terbuka kemungkinan apabila saksi lain yang belum pernah diperiksa dalam perkara KTP Elektronik (KTP-E) akan dihadirkan dalam persidangan.
"Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau hakim yang memerintahkan," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/3/2017).
Oleh karena itu, kata dia, jika fakta di persidangan nantinya dibutuhkan dan dipandang relevan untuk perkara ini, maka tidak kemungkinan pihak-pihak yang belum diperiksa dalam proses penyidikan dihadirkan di persidangan.
Sementara soal banyak pihak yang membantah menerima aliran dana KTP-E sebagaimana telah dibacakan dalam dakwaan di persidangan, Febri menyatakan bahwa KPK mempersilakan saja.
"Membantah silahkan saja, sudah begitu banyak orang yang membantah di kasus lain. Silahkan saja. KPK tidak bergantung pada bantahan tersebut, karena penyidik dan penuntut umum tentunya punya kewenangan-kewenangan untuk menemukan bukti dan mencari bukti," ucap Febri.
Sementara KPK sendiri dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP elektronik (KTP-E) tahun anggaran 2011-2012.
"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," kata Febri.
Febri mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.
"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.
Menurut Febri, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.
Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek KTP-E tersebut.
Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran KTP-E pada 2010 dengan anggaran Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya.
Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah: 1. 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek; 2. Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada: a. Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar; b. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar; c. Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar; d. Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar; e. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Advertisement