Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jika Revisi UU KPK Disetujui, Laode: Jangan Harap Ada OTT

Jika Revisi UU KPK Disetujui, Laode: Jangan Harap Ada OTT Kredit Foto: Tri Yari Kurniawan
Warta Ekonomi, Makassar -

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menegaskan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK hanya akan mengganggu kinerja, bahkan melemahkan komisi-anti rasuah. Bila regulasi itu disetujui, Laode menyebut pihaknya sulit untuk bisa melakukan operasi tangkap tangan alias OTT. Musababnya, kewenangan KPK dalam hal penyadapan yang merupakan senjata utama akan diperketat.

Menurut Laode, petugas KPK bakal kesulitan untuk bergerak melakukan OTT bila nantinya diharuskan mengajukan izin untuk melakukan penyadapan. Revisi tersebut, Laode menegaskan tentunya tidak adil bagi lembaga yang kini dipimpin oleh Agus Rahardjo. Pasalnya, selama ini kewenangan penyadapan juga dimiliki oleh Polri, Kejaksaan, BNN, dan BIN yang malah tidak dipersoalkan.

"Kalau itu benar-benar diatur tentang (kewenangan) penyadapan maka jangan harap kamu bisa melihat lagi OTT. Tidak akan ada karena itu (kewenangan penyadapan) betul-betul merupakan senjata yang kita miliki. Ini yang tidak adil karena kewenangan penyadapan itu bukan hanya dimiliki KPK," kata Laode saat dialog publik Kontroversi Revisi UU KPK di Unhas Makassar, beberapa waktu lalu.

Dalam draft revisi UU KPK, Laode memaparkan diatur mengenai pembatasan masa kerja, penghilangan kewenangan untuk melakukan penuntutan, kewajiban mengajukan izin untuk penyadapan, pembentukan dewan pengawas, dan pembatasan jumlah dugaan korupsi minimal Rp50 miliar untuk diusut.

"Meski DPR mengatakan itu untuk penguatan, tapi isinya tentang pelemahan KPK," tegas dia.

Menurut Laode, untuk penyadapan misalnya, di mana kewenangan KPK ingin diawasi secara ketat. Ironisnya, lembaga lain yang memiliki kewenangan serupa dengan peralatan yang lebih canggih terkesan tidak diatur. Selanjutnya, pembatasan nominal minimal kasus korupsi merupakan hal yang tak patut dilakukan. Dicontohkannya, komisi anti-rasuah di luar negeri bahkan bisa mengusut kasus korupsi meski nominalnya hanya US$10.

Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi Abdul Muttalib mengungkapkan revisi UU KPK memang terkesan hanya untuk melemahkan lembaga anti-korupsi. Salah satu pasal yang dianggap bisa menjadi titik lemah KPK adalah Pasal 12 yang memuat penyadapan boleh dilakukan atas izin dewan pengawas. Masalahnya, dewan pengawas itu bisa jadi merupakan orang-orang titipan yang digunakan untuk melemahkan KPK.

Muttalib menegaskan pasal penyadapan dalam revisi UU KPK sudah kebablasan lantaran sama saja mengatur petugas komisi anti-rasuah. Keharusan mengajukan izin ke dewan pengawas bisa diartikan bahwa petugas KPK sudah dipegang ekornya alias sulit untuk bergerak dengan leluasa dalam melakukan pengungkapan perkara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tri Yari Kurniawan
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: