Persoalan yang boleh dibilang klasik adalah kurangnya juru ukur yang harus memastikan luas kepemilikan lahan serta uji verifikasi yang harus dilakukan secara hati-hati terhadap klaim pemilikan tanah. Apalagi, jika tanah itu dalam sengketa sejumlah pihak yang penetapannya harus lewat pengadilan yang tidak jarang berlanjut hingga ke jenjang Mahkamah Agung.
Mengenai kekurangan juru ukur di instansi yang berwenang menetapkan luasnya lahan kepemilikan itu, Jokowi bahkan memerintahi Menteri Agraria, Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofjan Djalil untuk memanfaatkan jasa perusahaan alih daya dalam rangka menyukseskan target sertifikasi pemilikan tanah itu.
Dalam beberapa kesempatan penyerahan sertifikat tanah kepada warga yang berhak, Jokowi mengatakan bahwa pemilikan sertifikat merupakan ciri sebuah negara yang maju.
Dengan modal sertifikat itulah, warga negara dapat memperoleh pinjaman modal dari bank karena adanya agunan berupa sertifikat tanah.?Tentu warga telah diwanti-wanti oleh Presiden untuk memanfaatkan serifikat itu sebagai agunan dalam rangka memperoleh modal untuk usaha produktif.
Jangan sampai sertifikat itu dijadikan alat buat memperoleh sejumlah uang pinjaman yang pemanfaatannya bersifat konsumtif, seperti membeli mobil, bukan untuk usaha produktif. Jika mobil itu digunakan untuk mencari nafkah seperti untuk taksi atau usaha pengangkutan logistik, yang bisa diharapkan memberikan pemasukan, pembelian kendaraan itu bisa dimaklumi dan dijustifikasi.
Peringatan Jokowi kepada warga untuk tidak konsumtif setelah memperoleh pinjaman uang dari bank dengan agunan sertifikat tanah yang baru dimilikinya itu agaknya penting. Pasalnya, saat ini godaan untuk hidup nyaman dan memelihara gengsi personal cukup kuat. Apalagi, dengan pesona yang ditebarkan kapitalisme lewat berbagai produk barang-barang mewah yang dipasarkan dengan harga yang makin lama makin menggiurkan.
Dengan mengantongi pinjaman uang bank sejumlah Rp100 jutaan, seseorang yang menggadaikan sertifikat tanahnya dapat membeli mobil baru. Namun, di balik kegembiraan instan yang dirasakan, yang bersangkutan juga harus bersiap untuk kemungkinan hilangnya harta berharga yang diperoleh lewat program sertifikasi pemilikan tanah.?Sertifikasi tanah juga menjadi solusi bagi praktik manipulatif yang selama ini bisa berjalan karena aliansi tak terpuji antara warga dan aparat.
Di sejumlah wilayah, termasuk di wilayah yang belum berpenduduk padat, seperti Papua Barat, praktik penjualan tanah tak bersertifikat, yang dilakukan lebih dari sekali dengan modus manipulasi sudah bukan rahasia lagi.?Sertifikasi pemilikan lahan dalam program reforma agraria diharapkan dapat meminimalisasi praktik-praktik semacam itu. Kini yang menjadi pertanyaan adalah: siapkah institusi yang berwenang mengeluarkan sertifikat tanah itu untuk mewujudkan target yang dicanangkan Jokowi? Tentu bukan sekadar mengeluarkan sekian juta lembar sertifikat yang memenuhi target yang diharapkan. Lebih dari itu, semua sertifikat yang dikeluarkan itu merupakan hasil dari kerja birokrasi yang dilaksanakan secara hati-hari dan punya landasan kuat dalam klaim pemilikan tanah yang dilegalkan dalam bentuk surat produk negara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement