Sidang paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) untuk disahkan menjadi Undang-Undang di Jakarta, Rabu.
RUU tersebut disahkan setelah melalui pembahasan yang cukup lama dan merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang sudah berlaku selama lebih kurang 13 tahun dan merupakan bagian dari sistem ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"RUU ini lahir sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola migrasi dan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia yang berbeda dari pengaturan sebelumnya dan telah diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait," ujar Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri usai pengesahan RUU.
Menaker memaparkan ada tujuh substansi penting dalam RUU yang terdiri dari XIII bab dan 91 pasal tersebut yaitu pertama adalah pembedaan secara tegas antara Pekerja Migran Indonesia dengan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan di luar negeri yang tidak termasuk sebagai Pekerja Migran Indonesia.?Kedua adalah jaminan sosial bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Ketiga, pembagian tugas yang jelas antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dalam penyelenggaraan perlindungan pekerja migran Indonesia mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja.
Sedangkan substansi keempat adalah pembagian tugas dan tanggung jawab secara tegas antara pemerintah pusat dan Daerah dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia dan keluarganya secara terintegrasi dan terkoordinasi.
Kelima, pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri tugas dan tanggung jawabnya dibatasi dengan tidak mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia.
Keenam, pelayanan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terkoordinasi dan terintegrasi melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
"LTSA ini untuk efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen, efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan perlindungan dan meningkatkan kualitas pelayanan pekerja migran Indonesia," katanya.
Sedangkan substansi ketujuh adalah pengaturan sanksi yang diberikan kepada orang perseorangan, pekerja migran Indonesia, korporasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai penyelenggara pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia lebih berat dan lebih tegas dibandingkan sanksi yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. (ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement