Jaksa Penuntut Umum KPK menyebut PT Murakabi Sejahtera digunakan oleh Setya Novanto untuk perusahaan pendamping pekerjaan KTP-E dan dikendalikan oleh keluarganya.
Jaksa penuntut umum KPK Ahmad Burhanuddin dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, mengatakan, PT Murakabi Sejahtera yang dipersiapkan terdakwa dan Andi Agustinus sebagai salah satu perusahan pendamping pekerjaan penerapan KTP-E.
Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh terdakwa melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan terdakwa), Deisti Astriani Tagor (istri terdakwa) dan Rheza Herwindo (anak terdakwa).
Caranya Irvanto membeli saham PT Murakabi Sejahtera milik Vidi Gunawan (adik Andi Agustinus) sehingga menggantikan posisi Vidi sebagai direktur PT Murakabi sejahtera dan selanjutnya Deisti dan Rheza membeli sebagian besar saham PT Mondialindo Graha Perdana yang merupakan holding PT Murakabi Sejahtera.
"PT Murakabi Sejahtera berkantor di Menara Imperium Jalan HR Rasuna Said lantai 27 milik terdakwa dan sebelum pelaksanaan ellang KTP-E PT Murakabi memasukkan "Jasa pembuatan ID Card, hologram, spesifik ribbon dan security printing" ke dalam bidang usahanya.
Dalam perkara ini Setnov didakwa menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-Elektronik.
Selain itu perbuatan Setnov juga masih memberikan keuntungan untuk 34 orang lain dan 7 korporasi.
Uang yang diberikan kepada Setya Novanto, mantan Direjn Dukcapil Kemendagri Irman, mantan Direktur Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Dukcapil Kemendagri Sugiharto, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni dan pihak-pihak lain merupakan bagian dari pembayaran pengerjaan KTP-E yang jumlah totalnya adalah Rp4,817 triliun yang dibayarkan kepada Konsorsium PNRI.
Sehingga pemberian kepada terdakwa, Irman, Sugiharto, Diah Anggraini dan pihak-pihak lain menjadi penyebab Konsorsium PNRI tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Tapi Sugiharto melakukan 9 kali adendum dengan meneysuakan prestasi pekerjaan yang telah dilakukan konsorsium PNRI dengan adendum kontraknya dan pembayaran ditujukan agar dapat digunakan konsorsium PNRI untuk diberikan kepada Setnov, Irman, Sugiharto, Diah dan pihak lain serta untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan untuk mengurus penanggaran di DPR.
Padahal terdapat pekerjaan yang tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak karena per 31 Desember 2013 konsorsium PNRI hanya dapat melakukan pengadaan blangko KTP-E sebanyak 122.109.759 keping atau di bawah target, padahal konsorsium PNRI wajib melakukan pengadaan, personalisasi dan distribusi blangko KTP-E sebanyak 172.015.400 keping.
Meski tidak memenuhi kontrak, namun PNRI tidak diberi teguran dan sanksi oleh Kemendagri.
Dalam perkara ini, Setnov didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.Budi Suyanto
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement