Menjadi orang nomor satu di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengurusi pemberdayaan wong cilik, seperti pelaku usaha mikro dan koperasi, memang bukan perkara enteng. Diperlukan kepiawaian tersendiri dan kesabaran ekstra dalam memberdayakan pelaku yang masuk golongan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tantangan terberat Parman Nataatmadja selaku Direktur Utama Penanaman Nasional Madani (PNM), yakni dalam hal merespons perubahan pola berpikir (mindset) dan kebiasaan pelaku UMKM. Tentu sebagai BUMN yang diberi mandat memberdayakan pelaku UMKM ini, kinerja tim Parman tidak bisa dilihat dari seberapa besar profit yang bisa diperoleh perusahaan dan disetor ke pemerintah. Bagaimana siasat mantan Dirut Bahana Artha Ventura ini menjadikan PNM sebagai ujung tombak pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat kecil? Berikut petikan perbincangan pria kelahiran Jakarta, 14 November 1957 dengan wartawan Warta Ekonomi Agus Aryanto dan Manggala Satwika serta Elisyani Childa dari Divisi Komersial di Kantor PNM di Jakarta, Senin, 31 Agustus 2017.
Selama ini belum banyak masyarakat yang mengetahui tentang PNM. Setelah perusahaan menggulirkan produk ULaMM dan Mekaar, nama PNM sepertinya melejit. Bisa dijelaskan mengapa hal itu bisa terjadi?
Begini. PNM itu BUMN yang hidupnya dari subsidi. Jadi sebelumnya kita meminjamkan kepada bank. Waktu itu Bank Indonesia (BI) dimungkinkan untuk menyalurkan kredit program pemerintah melalui bank-bank bertajuk Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Pada 1999, Undang-Undang BI disahkan. Kemudian, BI menjadi independen dan tidak diperbolehkan lagi menyalurkan kredit program tersebut. Nah, out standing kredit program yang masih ada diserahkan kepada PNM, di antaranya kepada koperasi dan UKM. Tapi pada tahun 2015 dipatok kredit program tersebut harus kosong semuanya, jadi makin lama dananya makin habis. Sejak tahun 2008 kita sudah cukup banyak menyalurkan dan tahun 2012 saya perkirakan PNM akan rugi.
Waktu itu mekanismenya seperti apa?
BI eminjaminkan dana ke bank-bank, terus dikembalikan sama bank. Nah, kita namanya relanding, boleh kasih pinjam lagi sekali dua kali, habis itu selesai. PNM satu-satunya Lembaga Keuangan Bukan Bank yang mempunyai rekening giro di BI. Nasabah kita gede-gede, seperti BRI. Kita boleh meminjamkan dengan bunga 7%, tapi sejak tahun 2005 profitnya turun terus.
Ketika kredit program BI itu habis, saya prediksikan kalau tidak ada pengurangan pegawai, PNM akan jebol. Saya masuk berarti tugasnya hanya memangkas pegawai, kalau hidupnya tidak diubah. Kita hanya boleh minjamin ke bank, kemudian bank minjamin ke koperasi dan UKM. Polanya begitu, two step loan, kita hanya hidup dari situ. Makin lama dana itu tidak boleh dipakai karena jatuh temponya minimal harus 3 tahun. Kalau 2015 harus selesai, berarti maksimum 2011 kita kasih pinjam.
Jadi saat habis urusan KLBI ini, apa yang Anda lakukan?
Kenyataan ini mendorong kami di PNM untuk mencoba menyalurkan langsung kredit ke UMKM dan memberi pembinaan. Sejak itulah PNM mulai membuka cabang lagi. Kalau dihitung, tadinya kami hanya punya 13 kantor cabang yang menyalurkan KLBI sama dapat uang modal awal dari pemerintah sebesar Rp300 miliar.
Sejak program KLBI berhenti, mulailah program ULaMM dijalankan. Dari 13 kantor cabang sampai sekarang, 70 cabang dengan 666 kantor, itu ULaMM saja. Tapi pada tahun ini, kita ada transformasi lagi dengan kasih capacity building langsung, jadi nempel. AO kita ajari bagaimana memakai digital untuk bisa membina nasabah secara lebih baik. Nanti semua nasabah kita bisa capacity building supaya bisa meningkat usahanya.
Apa yang diajarkan melalui capacity building?
Yang kita ajari nanti mulai dari enterpreneur, tata buku sederhana, sampai ke manajemen produksi, termasuk packaging, marketing, sampai kelembagaan supaya jangan bersaing. Mulai dari hidup sederhana, sampai bisa menghitung harga pokok. Setelah itu, manajemen produksi, dari penggoreng, teknis membuatnya, sampai packaging, tapi belum sampai ke kalori.
Ada nasabah yang sebelumnya menghitung harga pokok saja tidak bisa, kita ajarin 3 bulan baru ngerti. Kenapa itu kita ajarin? Karena kalau tidak bisa, jebol usahanya. Jadi kalau mau maju, mereka kita kasih tahu bagaimana cara menghitung harga pokok. Bahan-bahan yang dibeli terlalu mahal akhirnya minjam ke bank, stock kebanyakan juga mahal, saat kita ajarin harga pokok, mereka baru mengerti. Harga pokok itu harga minimal yang harus dijual supaya tidak rugi, setelah itu baru dijual, itu contoh tata buku sederhana.
Bisa diberi contoh apa yang dikerjakan PNM ?
Kami mengedukasi di Jogja untuk pertama kali. Di sana kami bantu kerajinan rempeyek dengan menggelontorkan dana Rp400 juta di satu desa dengan 46 nasabah. Mengedukasi UMKM itu janganlah dibayangin seperti masuk ruang kelas, nggak bisa seperti itu. Kami meminta bantuan para pengusaha berhasil untuk ikut mengajari para UMKM tersebut. Pelan-pelan dan sabar kami mengedukasi mereka. Kerap kami menggelar sarasehan di malam hari dengan memakai bahasa lokal. Baru setelah itu, kami masuk lebih dalam lagi. Sudah diedukasi saja, peserta yang berani mengubah pola pikirnya (mindset) hanya 10%—15%. Meski segitu, kami tetap alhamdulillah karena masih ada yang mau berubah.
Apakah semuanya berhasil?
Tentu tidak semua berhasil. Jumlah UMKM di Indonesia, merujuk pada Kementerian Koperasi & UMKM, mencapai 56 juta yang kebanyakan koperasi. Keberadaan UMKM ini kalau disandingkan dengan negara tetangga se-ASEAN, seperti Thailand, kompetensi pelakunya masih jauh di bawahnya. Di sana ada program one village one product, meniru keberhasilan program serupa di Jepang. Perhatian pemerintah Thailand tinggi terhadap program pemberdayaan UMKM. Bagi UMKM yang berhasil dan masuk kategori one star hingga five star mendapat penghargaan dari Pemerintah. UMKM yang sudah masuk kategori five star itu artinya sudah bisa ekspor dan menjadi tempat belajar UMKM lainnya. Bahkan di Cina, pemerintah setempat berani membayar orang-orang terbaik di dunia untuk mendidik para UMKM di sana.
Jadi, gagasan PNM mengkreasi ULaMM dari Thailand?
Ya dari Thailand, tapi tidak ide dari Thailand. Saya pikir, kenapa kita tidak langsung memberi bantuan kepada UMKM dan setelah itu memberi capacity building. Saat PNM masih menjalankan kredit program BI, PNM memberi capacity building, tapi kita kasih ke koperasi. Dari sinilah mengalir gagasan PNM akan memberi capicity building ke pelaku usaha mikro secara gratis. Kalau PNM memberi capacity building ke koperasi, itu ada hitungan biaya pelatihannya.
Kalau memang misi PNM membantu pengusaha mikro, kenapa tingkat bunganya terbilang tinggi, yakni direntang 14%—25% lebih tinggi dari bunga bank?
Kalau bank, kan, hanya mengasih kredit, tidak memberi pelatihan capacity building seperti yang PNM lakukan. Jangan salah, menyelenggarakan capacity building itu ada cost-nya lho, itu sebabnya bunga PNM di atas perbankan.
PNM juga menggulirkan program Mekaar di luar program ULaMM. Bisa dijelaskan bedanya di mana?
Jujur saja, saya sedih melihat orang miskin di negeri ini dibiayai oleh sejumlah LSM asing, seperti Australia dan Uni Eropa. Di sejumlah daerah ada beberapa NGO yang menggarap masyarakat bawah kita. Masa, sih, tidak ada BUMN yang peduli. Apa iya tugas BUMN-BUMN itu hanya mengejar profit doang? Bukankah salah satu landasan prinsip keberadaan BUMN dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Di situlah PNM masuk. Rakyat paling kecil itu jumlah yang paling besar di Indonesia. Program Mekaar berbeda dengan program ULaMM. Tidak mudah bagi BUMN untuk masuk ke segmen pelaku mikro. Di program ULaMM ada revolusi mental karena mental itu yang bikin mereka mikisn duit dan miskin segalanya. Di bagian revolusi mental inilah yang coba kami disiplinkan, lalu kami edukasi dengan budaya menabung. Wajib memiliki usaha untuk membantu suami dan keluarga.
Menurut survei di dunia, ibu-ibu itu paling sensitif sama faktor kemiskinan. ibu-ibu juga paling banyak punya waktu nganggur. Jumlah keluarga prasejahtera di Indonesia ada 93 juta pada 2016. Jadi melalui Mekaar, baik yang nganggur maupun yang sudah berusaha, kita finanching. Tapi setelah satu siklus, wajib berusaha. Itu salah satu revolusinya, wajib berusaha. Revolusi mental itu kita lakukan dalam setiap pertemuan para peminjam untuk usaha produktif, terus membaca janji tanggung jawab renteng. Lihat juga sosialisasinya untuk cari nasabah, itu dikumpulkan satu per satu, 4—5 orang.
Kalau dilihat dari pembiayaan yang diberikan antara Rp2—5 juta, apakah dana sebesar itu sudah memadai?
Begini. Menurut kami dengan bantuan awal sebesar Rp2 juta, itu lebih dari cukup. Kalau uang itu diolah menjadi produk makanan kecil dengan harga Rp1.500/buah kan cukup. Kalau mereka tidak punya usaha, ya sama-sama kita pecahin. Paling gampang jualan sabun deterjen 5 kilo lalu dibungkusi sedikit-sedikit atau jualan keliling pisang goreng atau apa saja.
Yang unik di program Mekaar, kita juga ciptakan tanggung jawab renteng untuk social punishment. Jadi sudah kita survei, kalau mereka tidak bayar mereka, ya, jadi pembicaraan ibu-ibu itu. Misalnya, satu kelompok ada 20 orang, satu tidak bayar, yang bayar, ya, 19 orang lainnya. 19 orang ini mengejar 1 orang itu, itu namanya revolusi mental.
Anda yakin program Mekaar akan ikut mengentaskan kemiskinan keluarga prasejahtera?
Kami melakukan pengukuran. Ada indeks prasurvei dan indeks postsurvei setelah 6 bulan dan 1 tahun. Misalnya, makannya berapa kali sehari, terus minum susu apa tidak. Ada satu indikator yang masih kita sederhanakan lagi, misalkan WC-nya sendiri-sendiri apa bareng-bareng. Kamar tidur bagaimana, rumah bagaimana, terus kepemilikan barang, punya handphone berapa, kita survei.
Pemerintah melirik program Mekaar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dengan memberikan target nasabah menjadi 4 juta di tahun 2018, bagaimana persiapannya ?
Untuk dua juta nasabah aktif kita butuh 1.134 cabang Mekaar. Di tiap cabang kita butuh sepuluh AO, satu senior AO, satu tenaga admin, dan satu kepala cabang. Itu untuk tahun ini, tapi untuk persiapan 4 juta nasabah tahun depan kita siapkan sekarang. Mulai bulan depan kita siapkan karena kalau tidak kita siapkan mendidik orangnya susah. Dari rekrutmen yang kita lakukan itu 40% gagal, balik lagi tidak mau karena mereka tidak punya passion, tidak punya hati nurani untuk membina warga miskin.
Jadi, harus menjiwai ke situ. Jadi, bisa tecapai target yang dipatok pemerintah?
Ya harus tercapai, sekarang sudah 1.100.000 nasabah. Target ditetapkan di awal tahun, waktu itu baru 400 ribu, sekarang sudah 1,1 juta. Kenaikannya lambat karena cabang dan orang-orangnya belum full, sekarang sudah full. Untuk tahun 2018 kita masih harus menambah paling tidak 1000 cabang Mekaar lagi.
Kalau dilihat ini sebagai misi pemerintah, di sisi lain PNM juga punya kepentingan bisnis ingin mendapatkan profit, bagaimana Anda memisahkan itu?
Kita minta agar mengukur kinerja BUMN itu jangan melulu dinilai profitability-nya. Kabarnya, Kantor Kementerian BUMN akan membuat pengukuran kinerja berbeda untuk PNM yang tidak melulu dilihat dari profit. Kalau kinerja diukur hanya dari profit, kita tidak mau masuk ke sini (Mekaar-red.). Ini urusannya susah, overhead tinggi karena tiap minggu kita harus datangi kan, harus kumpul.
Selanjutnya, PNM ingin menyinergikan ULaMM dan Mekaar, bisa dijelaskan seperti apa?
Kalau ULaMM sudah kita training, sudah sukses, nanti kita kasih training juga kepada Mekaar. Misalnya, membuat busana muslim dengan memberi pelatihan menjahit dan membantu pengadaan mesin jahit. Hasil dari garapan Mekaar akan tersebut diambil ULaMM. PNM akan melakukan sinergi antara ULaMM dan Mekaar. Kami sedang menyiapkan sinergi ini. Harapannya, dalam setengah tahun ini satu per satu sudah ada yang bisa jadi pilot project.
Kabarnya PNM ingin jadi ikon UMKM di Indonesia?
Kami berharap PNM menjadi salah satu lembaga yang memberdayakan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kami berharap UMKM Indonesia mampu bersaing dalam era kompetisi terutama di era MEA ini.
Untuk menjadi ikon UMKM, itu gambarannya. Kami akan membuat standardisasi bagi nasabah-nasabah BUMN, kita akan berikan pelatihan, membuat modul-modul pelatihan, bikin standar produk sesuai dengan standar PNM. Kami sudah punya semua modul pelatihan, tinggal tenaga ahlinya perlu kekhususan tersendiri. Pasalnya, produk kerajinan gampang menembus pasar asing, tapi kalau makanan susah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu