Dalam peringatan hari ulang tahun KPK ke-14 tahun yang dirayakan dengan suguhan sate padang, kopi "Tuku" dan arum manis pada 29 Desember 2017, diluncurkan juga buku "Aku KPK" karya para pimpinan dan mantan pimpinan, pejabat struktural serta pegawai fungsional (termasuk para penyidik).
Perayaan ulang tahun itu, menurut Sekretaris Jenderal Wadah Pegawai (WP) KPK Aulia Posteria pun sesungguhnya masih ada perdebatan. Karena landasan hukum berdirinya KPK yaitu UU No 30 tahun 2002 tentang KPK ditandatangani tanggal 27 Desember 2002. Tapi secara operasional KPK dimulai pada 29 Desember 2003 saat Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani keputusan presiden pengangkatan pimpinan KPK Jilid I sehingga selama bertahun-tahun KPK merayakan ulang tahunnya pada 29 Desember.
Buku dengan tebal 233 halaman tersebut berkisah beragam hal mengenai pasang surut KPK dari yang tadinya "bukan apa-apa" menjadi lembaga "penakluk segalanya". Meski para pimpinan KPK tersandung "banyak perkara" misalnya kasus Bibit-Chandra atau lazim disebut Cicak vs Buaya I. Penangkapan Bambang Widjojanto dan penersangkaan Abraham Samad dalam Cicak vs Buaya II dan yang terbaru adalah penyiraman air keras terhadap penyidik Novel Baswedan.
Setidaknya ada kritik, masukan serta pengalaman yang dibagikan mereka yang pernah atau sedang mengabdi di KPK, orang-orang yang disebut insan KPK.
Kritik dan masukan Ketua KPK periode 2003-2007 sekaligus pelaksana tugas pimpinan KPK 2015 Taufiquerachman Ruki dalam tulisanya menilai kegiatan pimpinan KPK masuk ke dalam aktivitas politik praktis sejak 2014.
Ia menulis "Aktivitas itu antara lain menjadi pengisi acara dalam 'talkshow' Mata Najwa yang lawan bicaranya adalah beberapa bakal calon presiden dan tidak ada relevansi acara tersebut dengan tugas pemberantasan kampanye. Selanjutnya ada 'Jumat Keramat' di mana pimpinan tampil untuk menyampaikan penetapan tersangka, hingga pemberian 'stabilo merah dan biru' bagi calon menteri. Padahal kalau seseorang sudah diberi 'stabilo merah' ya tangkap saja, tidak perlu ada pernyataan yang masuk ke wilayah politik praktis." Puncaknya pada awal 2015 saat dua pimpinan KPK saat itu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto mengumumkan nama calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka dengan "body language" yang sama sekali tidak menimbulkan simpati.
Padahal menurut Ruki, berdasarkan pengalamannya memimpin KPK jilid pertama, proses penegakan hukum tidak pernah berada di ruang hampa, memilik taktik dan teknik, adu strategi tapi ada etika di dalamnya. Hal terakhir itu yang banyak dilupakan oleh pelaksana fungsi di KPK. Padahal etika adalah nilai universal yang tidak dibatasi ruang dan waktu.
Ruki mengaku saat ia masuk kembali ke KPK pada 2015, pegawai KPK menempatkan dirinya sebagai seseorang yang ditakuti. INi yagn saya sebut "KPK traps", orang KPK ini terjebak pada posisi "gue bener, lo salah", "lo calon koruptor, gue bukan jadi wajar lo takut" sehingga KPK malah dimusi bersama-sama. Keiyaan mereka semata karena takut bukan karena merasa dalam satu barisan dalam pemberantasan korupsi.
Padahal tidak ada salahnya bergaul dengan orang lain. Orang penindakan mungkin ditakuti baik penyelidik maupun penyidik, tapi apakah humas, pencegahan, kesetjenan juga harus ditakuti? Tentu tidak.
Mantan ketua Wadah Pegawai KPK Faisal yang berasal dari Kedeputian Pencegahan juga merasakan hal yang sama.
"Saya melihat penyebab timbulnya ombak saat itu karena 'kegenitan' pimpinan KPK yang berlebihan berkomentar atau 'berlagak' tidak semestinya di depan publik termasuk pada 2014 saat salah satu pimpinan KPK seakan menikmati berita di media bahwa dirinya akan dicalonkan sebagai wakil presiden RI," tulis Faisal.
Saat KPK tengah berada di depan ombak besar yang berpotensi menggulung lembaga itulah, fondasinya harus kokoh. Fondasi yang saya dimaksud adalah soliditas dan kualitas pegawai KPK itu sendiri.
Integritas pegawai KPK adalah hal mutlak dan tidak bisa ditawar, standar integritas pegawai tidak boleh diturunkan. Integritas harus bersanding dengan idealisme.
Idealisme yang dimaksud adalah bukan "bekerja sekedar bekerja". Padahal potensi itu muncul di depan mata karena munculnya rasa ketidakpuasan pegawai pada pola pengelolaan organisasi dan manajemen SDM KPK yang dianggap kurang berpihak pada pengembangan pegawai dan pada saat yang sama terjadi kemiskinan komunikasi partisipatif antara manajemen dengan KPK.
Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono yang pernah menjadi ketua tim krisis KPK pada 2015 menyatakan bahwa ke depan, pegawai yang dibutuhkan KPK adalah mereka yang mempertahankan KPK, bukan sekadar berkeja. KPK butuh pegawai pejuang yang bekerja untuk orang lain tidak peduli dirinya menjadi korban, bukan pegawai karyawan yang bekerja untuk dirinya sendiri.
"Nanti akan terlihat siapa orang yang bekrja hanya untuk mencari jabatan atau uang dan mana yang bekerja untuk berjuang. Siapa yang tidur di kantor terus dan melakukan penguatan tapi siapa yang sebenarnya berkhianat, itu semuanya terbukti saat krisis," tulis Giri yang juga pernah mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK itu.
Jubir pertama KPK yang juga mantan Plt Pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengungkapkan bahwa yang perlu diinsyafi setiap insan KPK, termasuk pimpinan, KPK tidak akan hancur oleh kekuatan luar.
"KPK bisa hancur karena orang dalam dan karena kehendak Allah SWT. Kalau ALlah berkehendak hancur maka tidak satu pun makhluk yang bisa mencegah, kalau Allah menghendaki KPK selamat, secanggih apapun tipu daya, ya KPK akan selamat," ungkap Johan.
Zulkarnain sebagai pimpinan KPK jilid III "yang selamat" dari krisis juga mengaku bahwa KPK harus lebih arif.
"Selama ini kita kurang menelaah kearifan. Keberanian itu bagus. Masyarakat juga mengharapkan itu. Tapi berani saja tidak cukup, sebab kita tidak hanya berhadapan dengan para intelektual tapi juga mereka yang punya kewenangan, punya kekuasaan," cerita Zulkarnain.
Namun Abraham Samad sebagai Ketua KPK 2011-2015 sekaligus menjadi pusat pusaran krisis KPK pada 2015 tetap meyakini bahwa pimpinan KPK tidak boleh kompromistis, santun, lembek dan terlalu "slow" dalam memberanas korupsi.
"Bagaimana KPK bisa progresif kalau Anda biasa-biasa saja? Catatan saya bagi para calon pimpinan KPK, kalau Anda punya nyali yang biasa-biasa saja, jangan teruskan niat menjadi pimpinan KPK karena pimpinan KPK dituntut garang dan tanpa kompromi. Itulah yang disebut memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Kalau sudah mulai kompromistis berarti sudah tidak pandang bulu lagi," kata Abraham.
Sementara penyidik KPK Novel Baswedan yang hampir selalu terlibat dalam krisis KPK juga yakin bahwa tanggung jawab adalah memberantas korupsi yang dilakukan penyelenggara negara dan penegak hukum, artinya "big fish".
"Kalau kita konsisten, risiko jelas ada. Pimpinan ke depan juga harus lebih berhati-hati agar bisa mengukur risiko karena tidak semua sistem pemerintahan ingin ada perubahan signifikan. Bahkan ada pimpinan yang lebih memilih untuk tidak melakukan tugasnya karena mempertimbangkan risiko. KPK juga harus menjaga komunikasi dengan masyarakat seefektif mungkin sehingga penyampaikan informasi bisa berlangsung objektif," ungkap Novel yang sampai saat ini masih berada di Singapura untuk penyembuhan matanya.
Pengalaman Namun bukan bagian kritik dan masukan untuk performa KPK ke depan yang membuat buku ini menarik, melainkan pengalaman-pengalaman para insan KPK saat mengemban tugas yang tertuang lugas lah yang menjadikan buku ini layak dibaca.
Novel Baswedan yang pernah ditahan di Mako Brimob Polda Metro Jaya hingga dibawa ke Bengkulu mengungkapkan pengalamannya saat dipenjara selama sekitar 36 jam.
"Saat berada di penjara, saya mengobrol dengan banyak tahanan. Salah seorang dari mereka menayakan apakah saya dipenjara karena melakukan hal baik atau buruk? Kalau melakukan hal baik, jangan lihat kiri, kanan, belakanga, jangan takut , maju terus. Pengalaman dipenjara adalah pengalaman luar biasa. Tidak ada satu hal buruk yang saya alami di sana," tulis Novel.
Ia mengaku segala sesuatunya ada hikmahnya. Novel berpikir ia selama ini pernah sombong, itu jadi kesalahan besar dan menjadi salah yang direnunginya.
"Saya juga yakin kalau kita memilih satu jalan dan istiqomah di sana, pasti Allah akan memudahkan. Semua teman di KPK, juga penegak hukum, harus meyakini kalau kita berada di jalan yang benar, tidak usah takut dengan risiko, semua ada di kendali Allah," tambah Novel.
Sedangkan rekan Novel di Kedeputian Penindakan Herie Purwanto bercerita bahwa saat berhadapan dengan koruptor tidak bisa dengan muka sangar, suara keras, kepalan tangan kuat serta hentakan kaki. Koruptor adalah orang-orang "berdasi" yang tidak bisa diperlakukan seperti pencuri, penjambret atau pembunuh.
Saat memeriksa, justru dimulai dengan hal kecil seperti jabatan tangan dan sapaan hangat, lalu berlanjut dengan komunikasih yang lebih bersifat kekeluargaan seperti menayakan keadaan keluarga, anak serta kegiatan mereka. Secara formal hal ini juga dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Memberi ruang kepada tersangka koruptor untuk bercerita tentang diri dan keluarganya menjadi salah satu trik merebut empati. Ia akan mudah terbawa emosi sehingga ketika beranjak ke pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang substantif sehingga mereka cenderung terbuka.
Penyidik juga perlu memainkan pendekatan emosial biasanya pada konteks religius. Meski harus diakui, tidak mudah memainkan sentuhan religi ini karena akan bersentuhan dengan dogma agama yang konsekuensinya penyidik harus menguasai dogma-dogma itu. Menghadapi tersangka yang tersentuh hati nurani ia bisa menangi dengan menyiratkan penyesalan bahkan sambil sesungukan dan berlinangan air mata dan kadang terlontar kata-kata menyentuh.
Tapi penyidik tidak boleh ikut hanyut terbawa luapan emosi "penyesalan" atau "pura-pura penyesalan" dari tersangka. Dalam kondisi seperti ini, filosofi penyidik adalah: tegar bagai batu karang. Apa kata dunia bila penyidik larut dalam perasaan sesal tersangka yang diperiksa? "Saat OTT salah satu kepala daerah pada 2017, saya berhadapan dengan seorang kepala daerah yang saat menerima surat perintah dan membaca huruf demi huruf auranya sebagai orang berkuasa hilang terbawa angin. Wajahnya langsung tertunduk dan langkahnya gontai mengikuti perintah saya untuk segera berkemas, menyiapkan baju sekadar bekal ke Jakarta," cerita Herie.
Waldes Nainggolan yang juga berasal dari Kedeputian Penindakan mengungkapkan bahwa ia bisa berada di satu restoran, di belakang meja target operasi yang sedang makan siang dengan koleganya untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Sore harinya bisa berada di kawasan "mall" yang sama dengan dia, bahkan malam harinya bisa satu lift hotel hanya untuk mengetahui lantai dan kamar tempat target menginap.
"Intinya, jangan sampai beradu pandang agar wajah kita tidak diingat oleh mereka. Modal utama kami adalah percaya diri agar tidak terlihat mencurigakan bagi target," kata Waldes.
Meski dikenal garang, para insan KPK juga tidak menyembunyikan kesalahan insan satu kantornya. Hal itu disampaikan oleh Kepala Bagian Protokol dan Multimedia Biro Humas KPK Elis Nurhayati yang mengaku pernah dilaporkan oleh seorang penyidik ke bagian Pengawasan Internal karena meminta diantarkan dengan kendaraan kantor yang merupakan fasilitas negara ke tempat tinggal yang merupakan ranah pribadi, bukan di kantor.
Pelaporan itu terjadi seusai ia mengikuti sidak ke bandara Soekarno Hatta pada 25 Juli 2014 malam sampai 26 Juli dini hari.
"Meski akhirnya saya terbukti 'clear' dari tuduhan menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi namun pelajaran yang diambil adalah KPK sangat serius dalam hal penegakan hukum untuk pemisahan secara tegas antara tugas dinas dan pepentingan pribadi," kata Elis.
Cerita lain dalam buku ini adalah cerita dari Dullah alias Sutarmin bekerja sebagai "office boy" di KPK sejak 2004. Tugasnya langsung melayani pimpinan KPK, mulai dari Taufiquerachman Ruki, Erry Riyana Harjapamekas, Amien Sunaryadi, Tumpak Hatorangan sampai Sjahruddin Rosul.
"Pak Amien dan Pak Rosul tidak minum kopi, lainnya ngopi. Pak Tumpak dan Pak Erry dua kali sehari, tapi Pak Erry paling kental, gulanya pakai gula merah, dua sendok kopi dua sendok gula. Pagi ngopi, rapat ngopi, kadan ada yang bawa kopi sendiri dan takarannya kami sendiri yang buat tidak ada yang aneh-aneh wajar saja," ungkap Dullah.
Pimpinan selanjutnya juga demikian, Adnan Pandu Praja kalau ngopi tidak pernah pakai gula, dulu kopinya saya kasih gula tapi tidak pernah dihabiskan, begitu tidak sengaja dikasih tanpa gula eh malah habis.
Untuk makan, yang penting tempatnya bersih, tapi jangan sampai ada karetnya, kulit telor atau serpihan sterofoam. Pak Ruki suka makan gado-gado, Pak Johan bawa sarapan dari rumah dan suka sop kambing, mie dan bebek. Pak Adnan suka ikan-ikanan, Pak Indriyanto suka telur dadar, makan apa saja harus ada telur dadar. Pak Zulkarnain dan Abraham selalu bawa dari rumah tapi kadang kalau dari luar kota dia beli makan.
Juwati alias Wati yang juga melayani pimpinan KPK sejak 2005, para pimpinan KPK makan apa saja, bisa pesan makanan di tenda amigos (agak minggir got sedikit), dan paling mewah KFC atau kepala kakap di rumah makan padang.
"Pak Ruki pernah menyuruh kami untuk mencicipi semua makanan lebih dulu takut ada racunnya, kalau beli makanan harus hati-hati, kalau ditanya untuk siapa, bilang saja untuk diri sendiri, kita nggak bisa lengah. Pengalaman tidak saya lupakan adalah saat Presiden datang, saya buat teh terburu-buru dan ada busanya, Pak Ruki marah, katanya 'Itu diludahin siapa?' Pak Ruki suka marah tapi baik, hanya dia yang sering ke pantry untuk mengecek dan menyapa saya dan Dul kadang diperkenalkan juga ke teman-temannya," ungkap Wati.
Lantas apa atau siapa sesungguhnya "Aku KPK" menurut Insan KPK? Mungkin jawabannya tepat disampaikan oleh Kepala Bagian Perancangan Peraturan KPK Rasamala Aritonang yang mengutip pernyataan Melanie Manion dalam bukunya "Corruption by Design".
Masyarakat Hong Kong pada sekitar 1960-an punya pilihan untuk "menumpang bus" (ikut aktif korupsi) atau "lari di samping bus" (menjadi penonton yang tidak campur tangan dengan sistem korup), sedangkan "berdiri di depan bus (melaporkan atau melawan korupsi) bukan pilihan yang masuk akal. Analogi itu tepat menggambarkan beratnya memberantas korupsi.
Para insan KPK yang bekerja untuk pemberantasan korupsi bukanlah pekerja biasa. Pemberantasan korupsi harus dipahami sebagai gerakan yang memuat semangat moralitas, kejernihan pandan dan keberanian tekad. Tanpa itu semua, upaya pemberantasan korupsi hanya menjadi "pekerjaan rutin" sekadar tempat mencari nafkah, mengiri perut atau periuk nasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Gito Adiputro Wiratno
Tag Terkait: