Masih banyak pengembang papan atas di dalam negeri yang berkutat pada pasar properti di dalam negeri. Ketika perekonomian meredup, pasar properti terkena imbasnya, pengembang pun megap-megap. Ekspansi pasar properti luar negeri jadi alternatif pilihan penyelamat.
Don’t put your eggs in one basket. Begitu petuah para ahli investasi. Makna petuah itu, kalau investasi hanya di satu produk dan produk itu mengalami masalah atau tidak laku, investasi bisa hilang semua. Namun, kalau investasi disebar di berbagai produk atau instrumen keuangan, ketika satu sedang anjlok, akan ditutup dari investasi lain yang sedang booming. Dengan begitu, si investor akan terhindar dari kebangkrutan.
Petuah itu menjadi acuan Candra Ciputra. Putra sulung pengusaha Ciputra ini tak menampik pentingnya melakukan diversifikasi investasi. Bagi pelaku bisnis properti seperti Ciputra Group, boleh dibilang core business di properti, mulai dari perumahan, apartemen, perkantoran, mal, hotel, perlu juga mencari pengaman apabila bisnis properti di dalam negeri melesu. Pilihannya tinggal ekspansi secara geografi ke luar negeri.
Manakala pasar properti di dalam negeri sedang melesu, pasar properti yang digarap perusahaan di luar negeri seperti di China, Vietnam, dan Kamboja diharapkan booming. Dengan begitu, surplus properti di luar negeri menutup defisit di dalam negeri. Langkah ini ditempuh Group Ciputra karena ekspansi bisnis perusahaan tidak ada yang di luar inti bisnis properti. Itulah mengapa pilihan pengaman investasi perusahaan mesti ekspansi ke pasar properti di luar negeri.
“Tiada pilihan bagi kami kecuali melakukan ekspansi secara geografis, bahkan pada skala dunia. Jadi, kalau pasar properti di Asia sedang lesu, pasar di Amerika Serikat bertumbuh,” ujar Candra Ciputra. Sebagai pemain properti, ia paham betul denyut pasar properti global. Pasar properti Indonesia itu satu denyut nadi dengan kawasan Asia Selatan, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tapi, berbeda dengan kawasan Asia Utara, seperti China, Jepang, Korea, dan Hongkong.
Dengan ekspansi geografi inilah, Candra Ciputra berupaya untuk mengamankan garapan properti di 35 kota di dalam negeri. Cara serupa juga dilakukan oleh pelaku properti lain di dalam negeri, seperti Group Lippo yang juga punya garapan properti di China, Hongkong, Singapura. Bos Lippo Group, James Riady, dilansir dari sejumlah media di dalam negeri, mengatakan bahwa ketika pasar properti di luar negeri seperti Hongkong dan Singapura sudah begitu melangit, pasar properti Indonesia menjadi incaran.
Pasar properti di Hongkong sangat tinggi dan mahal, baik sewa maupun harga jual. Harga sewa perkantoran di sana mencapai US$35 ribu sampai US$45 ribu per meter persegi/tahun. Sementara itu, pasar properti seperti Singapura setali tiga uang, sedangkan di negeri Jiran sudah tidak ada tanah tersisa dan harga properti sudah melangit dan tidak terjangkau. Melihat kondisi seperti inilah, Lippo mengkreasi pasar di dalam negeri, seperti di Meikarta di Lippo Cikarang juga untuk menyerap demand properti di kedua negara tersebut dan kawasan Asia lainnya.
Lippo mengembangkan Kota Meikarta sebagai ibu kota Lippo Cikarang yang disebut-sebut oleh sang founder Lippo, yakni Mochtar Riady, sebagai ‘Shenzen'nya Indonesia, bukan semata untuk menyerap demand di dalam negeri yang sedang melesu, tapi juga investor dari Asia. Di sejumlah tower di Lippo Cikarang, sudah ramai dan penuh dengan komunitas asal Asia, seperti Jepang yang punya satu tower yang isinya warga negeri Matahari Terbit itu. Untuk mengetes pasar, Lippo melepas harga Rp12 juta per meter persegi, tapi hanya diserap 400 unit. Turun lagi jadi Rp10 juta per meter persegi, laku 1.000 unit. Barulah setelah diturunkan lagi jadi Rp7 juta per meter persegi, laris manis.
Di Meikarta, Lippo melepas harga jual properti terbilang murah untuk mengejar volume dalam skala yang besar. Dengan menjual dalam skala besar dan harga terbilang ‘miring’, akan menarik minat pasar dalam dan luar negeri untuk membeli. Walhasil, meski margin keuntungan Lippo tipis, dengan skala besar, pada akhirnya akan menghasilkan laba yang besar pula. Ini hanyalah masalah strategi dagang saja. Tidak jauh berbeda dengan jualan barang kelontong yang menjual dengan harga murah, lalu menyisakan margin tipis tapi skala volume jualan besar sehingga akan menangguk laba besar. Cara dagang sederhana inilah yang dipakai Lippo.
Sebagai pemain properti global, Lippo mahfum benar membaca tanda-tanda zaman di pasar properti dunia. Ketika pasar properti di satu kawasan sedang melesu, sebut misalnya pasar di Asia Utara seperti China, Hongkong, Jepang dan Korea, maka di kawasan Asia lainnya bisa kebalikannya. Atau, ketika pasar regional Asia melempem, pasar properti di regional lain seperti Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa malah kebalikannya. "Kotak-katik gatuk gelagat pasar" inilah yang menjadi kepiawaian para pengembang properti besar seperti Ciputra, Lippo, Sinar Mas, Summarecon Agung, Paramount Serpong, Pakuwon Jati, Intiland Develoment, Agung Sedayu, dan Agung Podomoro.
Orang Indonesia yang sukses menembus pasar properti di Australia, Iwan Sunito, menyarankan agar pengembang Indonesia melakukan ekspansi di pasar international. Boss Crown Group ini yang banyak menggarap proyek properti papan atas di Sydney, Australia ini pun menyadari bahwa ketika kinerja perekonomian Indonesia bergerak di level yang kurang memuaskan, hal ini akan ikut menggangu pasar properti di dalam negeri. Untuk itu, dia menyarankan generasi kedua dari taipan yang bergerak di properti mempelajari pasar properti di luar negeri sebagai alternatif ekspansi bisnis.
Di pasar properti Australia, misalnya. Banyak pengembang asal Singapura dan Malaysia yang justru berekspansi di negeri Kanguru tersebut. Padahal skala ekonomi atau gross domestic bruto (GDB) kedua negara Jiran itu jauh di bawah Indonesia. Iwan Sunito menyarankan agar pengembang Indonesia mulai melirik pasar di luar negeri sebagai alternatif ekspansi bisnis sekaligus pengaman perusahaan. Setidaknya, ketika pasar dalam negeri lesu, pasar properti di luar negeri yang sedang booming akan menyelamatkan cash flow perusahaan. Di sinilah diperlukan visi bisnis para CEO generasi kedua pengembangan properti papan Indonesia untuk berani go global.
Ekspansi secara geografi ke pasar global memang tidaklah mudah. Begawan properti seperti Ciputra tak menampik hal ini. Persoalan terbesar bukanlah dana, tapi pemahaman akan pasar luar negeri, seperti budaya, mindset, regulasi, dan karakter pasar properti. Tapi, itu semua bukanlah hambatan bagi para pengembang untuk melakukan ekspansi di luar negeri yang diyakini sebagai salah satu katup pengaman investasi properti di dalam negeri. Lalu, mengapa masih banyak pengembang yang bermain di pasar lokal? Semata karena pasar properti di dalam negeri masih menarik dan menjanjikan. Akan tetapi, ya, itu tadi, ketika pasar properti sedang dilanda kelesuan, pengembang lokal tidak punya katup pengaman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: