BRI mempunyai cita-cita menjadi bank dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di ASEAN pada tahun 2020, dari posisi saat ini di 5 besar. Laba perusahaan pun ingin didulang menjadi Rp40,6 triliun, dari saat ini sekitar Rp26 triliun. Salah satu caranya lewat transformasi digital.
Namun, ini bukanlah perkara yang mudah. Di saat millenials dan post-millenial generation menjadi sorotan pada 2020 nanti, Indonesia juga akan menghadapi populasi usia lanjut dengan angka penduduk berusia lebih dari 60 tahun yang lebih banyak dari anak berusia di bawah 5 tahun. Generasi Baby Boomer dan X masih akan menguasai 70% total kekayaan global dan tidak semua dari mereka nyaman dengan sistem perbankan daring. Jadi, pertimbangan kebutuhan dari dua kelompok ini menjadi tantangan bagi BRI untuk meramu strategi produk dan layanan perbankan digitalnya ke depan.
Direktur Perbankan Digital dan Teknologi Informasi BRI, Indra Utoyo, mengakui pihaknya tengah menjajaki beberapa strategi, termasuk di antaranya mengadopsi model transformasi hibrida yang memungkinkan perusahaan untuk menggabungkan model bisnis saat ini sembari mencari rencana bisnis baru serta mengimplementasikannya untuk meningkatkan performa perusahaan secara keseluruhan. Sambil mengelola model bisnis dan sumber daya manajemen yang ada, perusahaan mulai mengadopsi pola pikir startup untuk mencari tren terbaik dalam rangka menginovasi model bisnis perusahaan.
“Kami memiliki Digital Center of Excel - lence untuk mengembangkan aspek bisnis dan layanan digital banking. Kami juga terus mencari SDM yang mau mengembangkan produk ber - sama kami yang mampu menarik customer serta mengubah mindset perbankan,” katanya belum lama ini.
Lahirlah beberapa produk dan layanan perbankan digital dari BRI yang didedikasikan khusus untuk “generasi zaman now”, seperti Open Application Platform Interface (API) yang saat ini jumlahnya sudah ada 20. OpenAPI ini ke depannya akan digunakan untuk mengekspos inovasi produk BRI (misalnya memonitor saldo nasabah dan aktivitas transfer) dan sebagai basis sistem pembayaran yang front-end apps-nya bisa menggunakan aplikasi yang sudah populer di pasar, tetapi sistem pembayarannya via BRI (misalnya untuk pembayaran tilang dan Samsat).
Selain itu, ada chatbot yang memberikan layanan yang lebih baik untuk customer service; pembayaran lewat barcode (QR Code); aplikasi BRI Mobile yang memudahkan melakukan transaksi perbankan via mobile apps, baik di Android atau IOS; menyediakan layanan yang semakin customer-centric; uang elektronik (BRIZZI) yang dapat digunakan untuk pembayaran di beberapa fasilitas umum dan transportasi; serta internet banking yang saat ini digunakan oleh lebih dari 6,6 juta pengguna.
“Selain memiliki in-house tim untuk menganalisis big data dalam Digital Center of Excellence, kami juga aktif menjalin kerja sama digital dengan kurang lebih 24 perusahaan fintech dan startup untuk memperluas bisnis dan meningkatkan layanan perbankan digital,” kata Indra.
Ia melihat beberapa fintech tersebut memiliki layanan front-end yang lebih baik. Pihaknya juga bekerja sama dengan para fintech dan startup di beberapa bidang, termasuk credit scoring, digital identity, digital channel, dan sebagianya Di luar produk dan layanan perbankan digital yang saat ini ada, perusahaan secara paralel turut melakukan digitalisasi terhadap bisnis utamanya. Misalnya, dengan mengganti desain produk menjadi lebih spesifik (personalisasi) terhadap kebutuhan dan kemauan masing-masing pelanggan. Pekerjaan account officer misalnya, saat ini menjadi lebih ramah terhadap digital. Perusahaan juga berupaya keras melakukan analisis data besar agar bisa memberikan layanan yang lebih cepat dalam mendeteksi pelanggaran atau risiko besar dalam investasi kita. Terkait ini, SDM akan ditempatkan pada unit kerja yang lebih banyak membutuhkan sentuhan manusia ketimbang teknologi. Misalnya, pada divisi front-end untuk melayani pelanggan dan pemasaran
Investasi
Demi memuluskan agenda ekspansi produk dan layanan digital, perusahaan telah berkomitmen mengalokasikan anggaran sekitar Rp300 miliar, termasuk untuk investasi lini bisnis baru maupun kerja sama. Namun, secara total untuk biaya capital expenditure (capex) dan operating expenditure (opex) teknologi informasi BRI, dialokasikan sekitar 6%.
Targetnya, paling cepat pada 2 tahun ke depan atau sekitar tahun 2020, transformasi digital ini benar-benar terimplementasi, tergantung dari tantangan-tantangan yang akan dihadapi perusahaan, termasuk tantangan dari aspek pemerintah. Biasanya model teknologi yang diatur pemerintah tidak update dengan model teknologi terkini. Lalu, tantangan dari sisi arsitektur digital. Sistem perusahaan saat ini harus ditimpa terlebih dahulu agar bisa digunakan oleh divisi front, middle, dan back-end sehingga perlu fleksibilitas dan modernisasi infrastruktur di core banking.
“Jadi, ada empat area utama yang akan menjadi fokus kami ke depan. Pertama, meningkatkan customer dan mempersonalisasi layanan perbankan agar memenuhi kebutuhan orang per orang. Kedua, meningkatkan efisiensi waktu dan kualitas layanan lewat teknologi digital. Ketiga, optimalisasi pengoperasian perusahaan. Keempat, mendesain produk agar lebih memberikan kepuasan pelanggan karena transformasi di era digital ini adalah tentang mindset pengguna produk, bukan teknologinya semata,” tambah Indra.
Terkait pola pikir digital, setidaknya ada 7 hal yang perlu segera diadopsi, antara lain strategi yang lebih menitikberatkan pada inovasi ketimbang efisiensi, budaya kerja kolaborasi ketimbang hierarki, SDM yang memiliki kemampuan tinggi ketimbang SDM murah, teknologi yang mengarah pada cloud, mobile dan app ketimbang legacy, menitikberatkan pengalaman pelanggan, memiliki filosofi TI, serta manajemen proyek secara interaktif.
Dengan adanya disrupsi dari perusahaan fintech maupun startup yang mengurai rantai pasok layanan perbankan saat ini (sistem pembayaran, pinjaman, keuangan personal, dan perbandingan), diperkirakan ke depannya perbankan akan melakukan setidaknya 10 hal: meningkatkan pengalaman digital pelanggan; menggunakan big data, AI, dan analisis lanjut; berkolaborasi dengan perusahaan fintech; memperbaiki penyampaian multichannel; menerapkan Open API; memperluas pembayaran digital; merespons perubahan kebijakan; mengeksplorasi teknologi baru (IoTvoice); serta berinvestasi di program akselerator maupun akselerator inovasi.
Diferensiasi Produk dan Layanan Perbankan Digital
Menurut Indra, dibanding bank-bank lain, BRI akan memfokuskan diri pada pengembangan produk secara customer-centric sehingga yang akan menjadi faktor pembeda adalah perusahaan akan fokus tidak hanya di segmen pelanggan, tetapi di segmen mikro. Dengan demikian, produk yang dikembangkan akan disesuaikan ke arah sana. Di segmen mikro misalnya, ada aplikasi BRISpot yang merupakan layanan satu pintu aplikasi kredit. Sementara di segmen konsumer, aplikasi MyBRI menyediakan pengalaman pengguna yang memudahkan nasabah.
Sebagai perbandingan, bank-bank lain di kawasan ASEAN juga telah melakukan ekspansi produk dan layanan digitalnya. Sebagai bank dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di ASEAN, DBS (Singapura) telah meluncurkan aplikasi DBS Omni Credit Card Companion yang memberi pengalaman layanan digital bagi nasabah kartu kredit, Digibank App yang memungkinkan nasabah mendaftar tanpa saldo minimal, serta DBS Accelerator yang menggandeng startup untuk menjajaki layanan perbankan digital, termasuk customer digital journey, pengelolaan risiko bank, cryptocurrency, blockchain, serta cybersecurity.
Pada level internasional, bank BBVA (Spanyol) merupakan bank yang sepenuhnya beroperasi secara digital yang saat ini lebih dari 50 persen nasabahnya di seluruh dunia terdaftar lewat saluran digital yang proses pendaftaran dan aktivasi akunnya hanya memerlukan waktu beberapa menit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu