Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Fredrich Bantah Dakwaan Jaksa, KPK Bohong?

Fredrich Bantah Dakwaan Jaksa, KPK Bohong? Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengacara Fredrich Yunadi membantah seluruh dakwaan jaksa penuntut umum KPK yang menyatakan ia bekerja sama dengan dokter dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo untuk menghindarkan Ketua DPR Setya Novanto diperiksa dalam perkara korupsi E-KTP.

"Itikad baik yang menentukan adalah Dewan Etik Peradi, bukan KPK, tidak ada alat hukum yang bisa menguji, menilai etika suatu advokat," kata Fredrich di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Dia menyatakan, dakwaan JPU mengungkapkan bahwa JPU KPK salah menafsirkan hukum dan KPK masuk ke ranah kode etik advokat yang bukan haknya Fredrich membacakan nota keberatan (eksepsi) sebanyak 79 butir dalam 37 halaman.

Ia didakwa melanggar pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

"JPU dan penyidik KPK sekonyong-konyong memfitnah, menciptakan opini masyarakat, melakukan 'abuse of power' menjerat terdakwa seolah-olah melakukan tindak pidana pasal 21 dengan memposisikan dirinya sebagai Dewan Kehormatan Peradi sehingga secara 'de facto' dan 'de jure' melecehkan Peradi sebagai salah satu unsur penegak hukum, menghina 100 ribu advokat atau 50 ribu advokat di bawah Peradi, memaksa negara hukum jadi negara kekuasaan," tambah Fredrich.

Fredrich menilai bahwa JPU KPK melakukan dan pemalsuan dalam dakwaan tersebut, termasuk karena merasa tidak pernah ditahan oleh JPU.

"Kami tidak pernah ditahan JPU karena kami ditahan penyidik sejak 13 Januari hingga 1 Februari 2018, kemudian pada 1 Februari 2018 secara melawan hukum penyidik dan JPU memaksa dalam rutan dan secara lisan, ada 14 penyidik KPK menyatakan berkas sudah lengkap alias P21, dan kami terdakwa diminta menandatangani BAP tahap 2," ungkap Fredrich.

Iapun mempertanyakan dimana penasihat hukumnya, tapi dijawab penyidik bernama Rizka bahwa sudah ditelepon tapi tidak hadir.

"Penasihat hukum kami dari unsur DPN Peradi, pengacara senior secara hukum wajib dipanggil via surat resmi bukan telepon. Apa Rizka tahu, kemudian 14 penyidik dan 14 JPU yang berada di dalam ruang tamu tahanan mencoba meneror agar kami menandatangani berkas P21 dan penyerahan berkas, tegas kami tolak," kata Fredrich dengan berapi-api.

Peristiwa itu, menurut Fredrich, disaksikan oleh Kepala Rutan KPK dan sejumlah pengawal tahanan.

"Karena itu kami meminta majelis hakim agar memerintahkan JPU KPK memanggil saksi dalam acara eksepsi untuk memberikan kesaksian percobaan pemaksaan terdakwa karena tidak ada berita acara peneyrahan tahap 2 dan berita acara penahanan. Secara 'de facto' kami tetap disekap oknum KPK," ungkap Fredrich.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: