Ojek daring/ Ojek online meminta pemerintah membuat payung hukum untuk mengatur operasional yang selama ini belum diatur karena tidak termasuk dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ).
"Kami minta perlindungan hukum karena mungkin ojek 'online' belum ada di UU LLAJ, karena itu kami minta ada perlindungan hukum," kata pengemudi ojek daring Gojek Elfa Fahmi saat ditemui dalam aksinya di depan Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Elfa mengatakan salah satu keluhannya selama ini karena tidak masuk dalam peraturan adalah soal tarif yang diterapkan aplikator dirasa tidak sesuai.
"Kalau ada aturan, pemerintah bisa ikut campur dalam pemerataan tarif," katanya.
Karena itu, ia berpendapat persaingan tarif di antara aplikator ojek daring, baik itu Gojek, Uber dan Grab tidak sehat.
"Selama ini yang menentukan tarif adalah masing-masing perusahaan, ada ketidakadilan dari segi tarif," katanya.
Dia menyebutkan saat ini Gojek masih memberlakukan tarif Rp1.600 per kilometer.
Elfa menuturkan porsi pendapatan yang didapat oleh pengemudi dan perusahaan adalah 80 persen dan 20 persen, namun 80 persen tersebut tidak menutupi biaya perawatan motor.
"Buat kita dilihat dari prosentase memang masih besar ke pengemudi, tapi permasalahannya itu motor sendiri, kerusakan sendiri, risiko di jalan sendiri," kata Elfa yang sudah jadi pengemudi Gojek selama tiga tahun terakhir itu.
Ia menginginkan tarif yang ideal, yaitu dikembalikan pada masa awal Gojek beroperasi, yakni Rp4.000/kilometer.
Aksi tersebut, kata dia, merupakan inisiatif rekan-rekan komunitas pengemudi ojek daring.
Ojek tidak masuk ke dalam UU LLAJ karena tidak memenuhi unsur keamanan dan keselamatan untuk angkutan umum, ojek hanya masuk dalam kategori angkutan lingkungan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: