Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Meracik Startup Jadi Unicorn

Meracik Startup Jadi Unicorn Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Setidaknya ada 44 startup di Indonesia yang tengah dipersiapkan untuk bisa naik level menjadi Unicorn. Mereka butuh ekosistem yang kondusif agar melejit jadi Unicorn.

Dewasa ini, gegap gempita perihal ekonomi digital telah merambah hampir di semua sektor industri di Indonesia, tidak terkecuali perusahaan rintisan berbasis teknologi digital atau yang akrab dengan istilah startup. Tercatat, ada lebih dari 1.719 startup yang beroperasi di Indonesia (versi startupranking.com). Dengan berbagai kekurangan dan keunggulan yang ada, termasuk dari sisi ekosistem, regulasi, dan insentif hanya sebagian kecil saja dari mereka yang naik kelas menjadi Unicorn atau startup dengan valuasi mencapai US$1 miliar lebih atau sekitar Rp13,7 triliun.

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, semua stakeholder bergerak bersama untuk mengakselerasi “bayi-bayi” ini agar menjadi raksasa, setidaknya itu harapannya. Istilah kerennya, deep collaboration. Tercatat ada beberapa program, termasuk Kemenkominfo melalui Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital yang diadakan sejak Juni 2016 lalu guna menghasilkan 1.000 startup anak negeri pada 2020 mendatang. Bekraf juga membawa 11 startup roadshow untuk mengikuti kejuaran di Istanbul.

Selain itu, BI melalui Departemen Fintech Office-nya membuka ruang uji coba terbatas (Regulatory Sandbox) bagi 60 lebih startup fintech. Bursa Efek Indonesia juga dengan IDX Incubator-nya telah membina lebih dari 22 startup. Perusahaan modal ventura (PMV) pun melalui dedicated startup challenge programnya mendidik ratusan startup. Telkomsel pun tidak ketinggalan dengan membina 60 UKM berbasis TI (startup) lebih.

Yang paling baru, pembinaan terhadap 44 startup terpilih yang dipersiapkan menjadi Unicorn baru di tahun 2020 mendatang. Mereka adalah “anak-anak” terpilih yang diberi jalur prioritas ke investor global, termasuk roadshow ke Sillicon Valley, San Fransisco, AS. 

Pemilihannya tidak sembarangan, selain ada hitung-hitungan rasio keberhasilan tren Unicorn di dunia dalam beberapa tahun terakhir (4% atau dari setiap 100 startup, ada 4 yang berhasil), juga ada kriteri lain, seperti harus melewati seed capital (pendanaan awal), sudah memiliki pasar, serta mempunyai bisnis yang unik dan potensial. Target optimisnya, Indonesia bisa memiliki 50 Unicorn baru dari 1.000 startup di luar yang sudah ada saat ini, seperti Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.

Apa mungkin? Ya. Kalau menilik 10 tahun ke belakang, secara global jumlah Unicorn baru tiap tahunnya cukup fluktuatif. Pada 2007 lalu, misalnya, hanya ada 7 Unicorn baru, sementara pada 2011 ada 15 Unicorn baru, lalu terus naik pada 2013 ada 20 Unicorn baru, Tahun 2014 ada 62 Unicorn baru, dan puncaknya pada 2015 ada 81 Unicorn baru (versi PitchBook). Namun, pada 2017 hanya ada 57 Unicorn baru termasuk Bukalapak. Dalam kasus Indonesia, masing-masing Unicorn butuh waktu 5 tahun, 4 tahun, 8 tahun, dan 6 tahun.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menyatakan dalam peta jalan e-commerce sudah dinyatakan dukungan pemerintah dalam bentuk pendanaan sekitar US$1 miliar untuk menciptakan 1.000 startup baru. Dana ini akan dikumpulkan dari beberapa konglomerat yang biasanya melakukan investasi terhadap startup lokal dan ia sendiri yang akan melakukan pendekatan, baik terhadap investor lokal maupun global. “Saya sudah mulai berbicara dengan beberapa konglomerat dan hasilnya kita akan segera lihat,” kata dia kepada redaksi Majalah Warta Ekonomi.

Sophisticated Investor dan Pertimbangan Mereka

Dari kacamata investor, Jefri Sirait, CEO Astra Mitra Ventura yang juga Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo), melihat valuasi startup-startup Indonesia ke depan sebenarnya cukup baik dan menjadi tantangan bagi para investor di tahun depan untuk melihat bisnis apa yang potensial. Hal ini tercermin dari salah satu exit strategy lewat IPO yang sudah terjadi. Pada dasarnya, semua ilmu valuasi sama, yaitu berusaha meyakinkan investor. Sisanya good will saja yang menjadi pembeda, sense of business.

“Anda bilang company atau produk yang Anda jual bisa ini dan itu, di belakang saya sudah ada 100 pembandingnya, jadi you’ll never know about me,“ kata dia kepada redaksi Majalah Warta Ekonomi.

Menurut dia, setidaknya ada 2 fundamental yang perlu dibangun: ekosistem dan insentif. Ekosistem adalah keterkaitan satu sama lain yang membuat segala sesuatunya bisa hidup dan sustain. Dari mulai ide bisnis startup yang kuat, investor, cluster, atau pusat perusahaan startup untuk saling mengakselerasi satu sama lain (contohnya Slipi, BSD, dan SCBD), serta regulator. Berbicara rencana menciptakan 44 Nexicorn tadi, harus ada aturan main to get things done. “Government bikinlah rule kalau targetnya mau memiliki 5, 7, atau 50 Unicorn, caranya bagaimana?,” tambah Jefri. 

Fundamental yang tidak kalah penting adalah insentif. Paling penting harus ada favorable media karena pada padasarnya investor bakal menempatkan dananya di mana saja yang menurutnya paling gampang. Sama seperti tech startup yang dengan bebas memilih yurisdiksi untuk mengatur perusahan induk mereka (holding entities), investor juga punya pilihan untuk memilih negara mana untuk mengatur skema investasi mereka. 

Satu contoh yang masih hangat, Unicorn asal India, Flipkart, yang memindahkan operasi backend-nya ke Singapura. Kenapa? Ini karena Singapura sangat agresif dalam memposisikan dirinya sebagai gateway ke Asia Tenggara. Lalu, Singapura juga memberikan legal structure yang stabil untuk menjadi international investment jurisdiction, dan tidak kalah penting, memberikan insentif untuk startup dan VC dari negara negara tetangga, dari tax break sampai dengan hibah untuk membayarkan gaji dan biaya lainnya.

Sebagai serangan balik, PM India Narendra Modi di tahun 2016 mengeluarkan 15 Startup Action Plan yang menawarkan insentif lebih dari Singapura. Selain mengiming-imingi insentif di capital gain untuk investasi di tech startup, Modi juga menghapuskan pajak capital gain untuk investor yang memindahkan investasi mereka dari sektor properti ke sektor tech startup.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tech Startup Indonesia yang menjalankan bisnis di Indonesia dikenai PPN dan PPh Badan (jika ada keuntungan, gaji, dan biaya). Tahun lalu, pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi XVI mengeluarkan peta jalan (roadmap) e-commerce, yakni Perpres Nomor 74/2017, yang sampai saat ini masih dibahas agar bisa menyentuh fundamental insentif tadi, seperti capital gain

Investor di startup risikonya tinggi karena mereka harus membesarkan “bayi-bayi” dengan segala kekurangannya. Jadi, Jefri melalui asosiasi mengusulkan agar pemerintah menurunkan tarif PPh final UMKM menjadi 0,25% dari saat ini, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 46/2003 sebesar 1%. Selain itu, batasan nilai omzet maksimal juga diusulkan menjadi Rp50 miliar dari saat ini Rp4,8 miliar. Kalau meminjam istilah Presiden Jokowi, sudah jelas arahnya: keberpihakan pada UKM/ IKM atau startup Indonesia. Para pebisinis pun selalu melihat di mana media yang paling bersahabat buat bisnis mereka. Investor apa sih yang dilihat? Cost of fund. Itu sudah mahal ya susah,” kata Jefri.

Investor yang dimaksud adalah investor lokal dan global. Amvesindo bersama pemerintah sudah membangun jaringan Asian Venture Council yang bertujuan menjembatani funding gap (masih jarangnya pendanaan Seri B ke atas) di market ASEAN, sekarang masuk Korea dan Jepang. Pada dasarnya, menurut Jefri, investor-investor ini ingin lebih banyak masuk ke Indonesia, tetapi they’re looking more than this.

Investor lokal sendiri bukan tidak mau mendanai mereka, tetapi lebih banyak memilih pendanaan di pre-seed atau seed. Faktanya, masing-masing VC mempunyai startup binaan, seperti Amvesindo yang membina 125 startup lebih. Astra Mitra Ventura sendiri memiliki program 1.000 startup challenge, lalu ada VC lain dengan fokusnya masing-masing. Mandiri capital sangat fokus di fintech, ada puluhan startup di sana. Lalu ada East Venture yang juga terus mengembangkan minimal 1 startup setiap bulannya, sampai yang terakhir warung pintar, Ideasource yang membangun 2—5 startup tiap tahunnya, atau Billy Boen yang membangun GDILab, Topkarir, dan Young on Top. 

Sebenarnya investor lokal pun sudah ada beberapa yang masuk ke pendanaan Seri B atau dikenal sebagai startegic partner. Seperti GDP milik Djarum yang masuk ke Blibli atau Astra MItra Ventura sendiri yang masuk ke Go-Jek. Sebagai perusahaan yang sama-sama besar, kerja sama kedua tidak melulu soal profitabilitas, tetapi sebagai strategic partner dan yang dibicarakan adalah exponensial growth, “1+1 is 5”. Investor pun semakin jeli memilah startup. Mereka adalah tipe investor yang memilah antara murah dan mahal, gain dan risk atau dikenal sebagai sophisticated investor. “Kenapa gak ke Uber? Lah, kita Indonesia kok, keberpihakan tadi,” kata Jefri.

Senada, CEO Ideasource, Edward I. Chamdani, melihat perlunya insentif fiskal dan regulasi yang mendukung startup-startup Indonesia. Sangat disayangkan bila tidak ada ekosistem yang baik. Padahal, startup Indonesia memiliki keunikan selain pangsa pasar yang besar, juga kultur yang tidak mudah didominasi oleh model bisnis yang sukses di luar. Contohnya Go-Jek dan Traveloka, meski mendapat persaingan dari luar, seperti Grab, Uber, Agoda, dan Booking.com mereka masih bisa mendominasi pasar karena bisnis model yang unik sesuai dengan kebutuhan konsumen Indonesia dan juga network yang lebih kuat ke value chain mereka masing-masing. “Jadi para startup ini benar-benar mengerti problem, issue, dan potensi yang ‘sangat’ Indonesia,” kata dia.

Dari sisi komitmen investor terhadap pendanaan, diakuinya masih ada gap di Seri B ke atas. Seri B ke atas biasanya didominasi strategic investor lokal dan VC regional atau global besar, seperti yang terjadi dengan Go-Jek, belakangan bahkan menggabungkan investor lokal dan asing di round yang sama. Otomatis, jumlah investor strategic lebih sedikit ketimbang angel investor maupun VC yang berperan sebagai feeder di pendanaan pre-seed atau seed. Untuk exit strategy sendiri, saat ini masih kebanyakan dalam bentuk trade-sale dan merger and acquisition. Potensi exit biasanya didominasi corporate backed investor yang melihat potensi startup memberikan value tambahan di bisnis core korporasi, ataupun trade sale yang dilakukan oleh startup Unicorn sebagai pemenuhan lini bisnis agar ekosistem mereka lebih lengkap.

Menurut Edward, kunci keberhasilan menjadi Unicorn terletak pada fokus terhadap roadmap menjadi perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan dan tidak hanya tergantung dengan investor privat terus-menerus. Fundamental dalam hal ini basis income dan profitability yang kuat tetap diperlukan. Nilai plus jika mereka mampu masuk ke bursa pengembangan dan utama sehingga liquidity baik bagi founder dan investor bisa terjadi. “Kami sendiri masih akan investment, rata-rata 2—5 startup per tahunnya,” kata dia.

Lesson Learning Dari Para “Senior” 

Di luar faktor externatility, pada akhirnya para startup ini sendirilah yang menentukan langkah selanjutnya karena mereka yang memiliki rencana bisnis. Apa saran Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia bagi startup yang mungkin saat ini masih di persimpangan jalan? 

Founder Tokopedia, William Tanuwijaya, menyatakan bahwa sebetulnya tidak ada one clear answer dalam hal kunci sukses menjadi Unicorn. Namun , berdasarkan pengalaman mereka, integritas dalam melakukan bisnis sangat berperan penting, termasuk dalam mendorong investor untuk menyokong dan membantu mengembangkan perusahaan rintisan digital atau startup.

Menurut dia, kalau berbicara pasar e-commerce sendiri, Indonesia masih akan mengalami leap frog. Meski model bisnis e-commerce Indonesia masih ketinggalan, tetapi dari sisi infrastruktur sebenarnya tidak ketinggalan. Adanya program Palapa Ring dari pemerintah membuat akses 3G dan 4G akan semakin meluas dinikmati masyarakat Indonesia dengan tarif yang sangat terjangkau. Smartphone dengan harga terjangkau pun semakin menjamur. “Tentunya akses masyarakat Indonesia ke internet di tahun ini akan lebih baik dari akses masyarakat China di tahun 2008 yang lalu. Ini peluang kami,” kata dia.

Direktur Pemasaran Traveloka, Dannis Muhammad, menyatakan bahwa meski dukungan dari existing investor mereka sangat kuat secara line-up maupun range investor, toh mereka masih membuka peluang bagi investor baru. Apalagi, ada hajat mereka melakukan ekspansi di luar pasar ASEAN yang sudah mereka masuki, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan  Filipina. Dengan meningkatnya penghasilan atau GDP per kapita, bertambahnya kelas menengah, otomatis kebutuhan berikutnya seperti leisure/experience ekonomi akan moncer.

“Artinya, menjalin hubungan erat dengan investor, selain bisa memberikan solusi, itu penting. Kami berharap bisa terus memberikan solusi kami di negara-negara yang sesuai dan memberikan best product dan experience untuk bisa meng-capture pertumbuhan leisure economy tersebut,” kata dia.

Senada dengan itu, Direktur Gojek, Nila Marita Indreswari, menyatakan bahwa untuk menjadi Unicorn, startup harus focus on what you can solve, solution. Bagi perusahaan yang baru mulai merintis, lihatlah apa yang bisa ditawarkan sebagai solusi. Jadi, tidak harus besar dulu, bukan fokus ingin komersiil dulu, tetapi apa yang bisa dijadikan solusi dengan teknologi, yang kemudian bisa menciptakan skala impact-nya. “Itu dulu, karena dengan begitu itu tadi investor pasti akan datang, ketika kita bisa create solusi, demand juga akan datang,” kata dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: